Ilustrasi.
JAKARTA, DDTCNews – Kendati sedang dalam pemeriksaan bukti permulaan, wajib pajak dapat mengungkapkan ketidakbenaran perbuatan berupa tidak menyampaikan SPT atau menyampaikan SPT, tetapi isinya tidak benar atau lengkap.
Ketentuan tersebut diatur dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 50/2022. Meski demikian, hak untuk mengungkapkan ketidakbenaran tersebut diberikan sepanjang mulainya penyidikan belum diberitahukan kepada penuntut umum melalui penyidik pejabat kepolisian.
“Dalam hal wajib pajak dilakukan tindakan pemeriksaan bukti permulaan (bukper), wajib pajak dengan kemauan sendiri dapat mengungkapkan dengan pernyataan tertulis mengenai ketidakbenaran perbuatannya…,” bunyi Pasal 7 ayat (1) PP 50/2022, dikutip pada Minggu (26/2/2023).
Pernyataan tertulis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1) PP 50/2022 harus ditandatangani oleh wajib pajak dan disertai dengan tiga dokumen. Pertama, penghitungan kekurangan pembayaran jumlah pajak yang terutang.
Kedua, surat setoran pajak sebagai bukti pelunasan kekurangan pembayaran jumlah pajak yang terutang. Pembayaran jumlah pajak yang terutang tersebut merupakan pemulihan kerugian pada pendapatan negara.
Ketiga, surat setoran pajak sebagai pembayaran sanksi administratif berupa denda seperti diatur dalam Pasal 8 ayat (3a) UU KUP. Adapun pembayaran sanksi berupa denda tersebut merupakan pemulihan kerugian pada pendapatan negara.
Lebih lanjut, apabila dalam pengungkapan ketidakbenaran perbuatan yang dilakukan oleh wajib pajak telah sesuai dengan keadaan yang sebenarnya maka wajib pajak bersangkutan tidak akan dilakukan penyidikan.
Apabila ditemukan data yang menyatakan lain dari pengungkapan ketidakbenaran perbuatan tersebut, wajib pajak tetap dapat dilakukan pemeriksaan bukper atas masa pajak, bagian tahun pajak, dan/atau tahun pajak, untuk jenis pajak yang dilakukan pengungkapan ketidakbenaran. (rig)