Ilustrasi.
JAKARTA, DDTCNews - Musim pelaporan Surat Pemberitahuan (SPT) Tahunan sudah tiba. Wajib pajak, khususnya orang pribadi, perlu segera melaporkan penghasilan dan menyetorkan pajak terutangnya.
Namun, ada PR tambahan yang perlu dilakukan wajib pajak orang pribadi sebelum melaporkan SPT Tahunan. Ditjen Pajak (DJP) mengimbau wajib pajak untuk memvalidasi nomor induk kependudukan (NIK) terlebih dulu. Topik mengenai validasi data NIK sebelum lapor SPT Tahunan ini ramai diperbincangkan masyarakat dalam sepekan terakhir.
DJP menyampaikan validasi data NIK ini sejalan dengan lini waktu integrasi penuh NIK sebagai nomor pokok wajib pajak (NPWP) orang pribadi yang akan berlaku 1 Januari 2024.
"Untuk kenyamanan bersama, segera validasi NIK-NPWP sebelum Anda menyampaikan SPT Tahunan," tulis DJP dalam pengumumannya.
Pemutakhiran data secara mandiri atas data-data utama perlu dilakukan paling lambat 31 Maret 2023. Sementara pemutakhiran data-data selain data utama, masih bisa dilakukan paling lambat 31 Desember 2023.
Adapun data utama yang dimaksud seperti NIK, nama, serta tempat dan tanggal lahir. Sementara data selain data utama antara lain nomor ponsel dan surat elektronik, alamat, klasifikasi lapangan usaha (KLU), dan data anggota keluarga.
Lantas bagaimana wajib pajak orang pribadi bisa mengetahui apakah data-datanya perlu divalidasi atau tidak? Cek artikel lengkapnya, 'Sebelum Lapor SPT Tahunan, Wajib Pajak Diminta Validasi Data Ini'.
Selain soal validasi data NIK, topik mengenai pemungutan pajak atas natura dan kenikmatan juga ramai diperbincangkan netizen.
Dirjen Pajak Suryo Utomo mengatakan kewajiban pemotongan PPh atas natura dan kenikmatan baru akan diberlakukan pada semester II/2023. Sepanjang semester I/2023, DJP akan berfokus pada pelaksanaan sosialisasi terlebih dulu. Tujuannya, wajib pajak pemberi kerja dapat melakukan pemotongan PPh sesuai ketentuan.
"Kita harapkan mungkin semester II/2023 kita baru memulai pemotongan, supaya agak tenang menceritakan kepada masyarakat. Antara 3 sampai 6 bulan," ujar Suryo.
Saat ini, DJP sedang menyusun rancangan peraturan menteri keuangan (RPMK) yang memerinci ketentuan pemotongan pajak sekaligus daftar natura dan kenikmatan yang dikecualikan dari objek PPh.
Mengingat ketentuan teknis terkait pemotongan PPh atas natura dan kenikmatan masih belum tersedia, wajib pajak karyawan penerima natura dan kenikmatan wajib menghitung dan membayar sendiri PPh yang terutang atas natura.
Ketentuan ini berlaku atas natura dan kenikmatan yang diterima pegawai pada tahun pajak 2022.
Bila ketentuan teknis dalam bentuk PMK sudah tersedia, pemberi kerja wajib melakukan pemotongan PPh atas imbalan dalam bentuk natura dan kenikmatan yang diberikan kepada karyawan. Pemotongan PPh dilakukan melalui mekanisme PPh Pasal 21. Baca artikel lengkapnya, 'Pemotongan Pajak Natura Diperkirakan Baru Berlaku Semester II/2023'.
Selain 2 topik di atas, masih ada beberapa pemberitaan yang cukup menarik untuk disimak. Berikut ini adalah 5 artikel DDTCNews yang sayang untuk dilewatkan:
1. WP Tak Aktifkan NIK sebagai NPWP Secara Mandiri, Ini Konsekuensinya
Kewajiban untuk mengaktifkan NIK sebagai NPWP berlaku bagi semua wajib pajak orang pribadi penduduk yang telah memenuhi persyaratan subjektif dan objektif.
Bila aktivasi tidak dilakukan secara mandiri oleh wajib pajak, aktivasi NIK dapat dilakukan oleh DJP secara jabatan.
"Bagi wajib pajak orang pribadi yang merupakan penduduk, dirjen pajak memberikan NPWP dengan mengaktivasi NIK berdasarkan permohonan pendaftaran wajib pajak atau secara jabatan," bunyi Pasal 2 ayat (4) PMK 112/2022.
2. DJP Bakal Kenakan Tarif Efektif PPh Pasal 21, Begini Mekanismenya
Pemerintah tengah menyiapkan RPP tentang Tarif Pemotongan PPh Pasal 21 atas Penghasilan dari Pekerjaan, Jasa, dan Kegiatan yang memuat ketentuan penetapan tarif efektif rata-rata pemotongan PPh Pasal 21.
Suryo Utomo mengatakan penghitungan PPh Pasal 21 menggunakan tarif efektif akan memudahkan pemotong pajak lantaran mekanismenya lebih sederhana dibandingkan dengan skema pemotongan PPh Pasal 21 yang berlaku saat ini.
"Tujuan memudahkan dan ini sedang kami coba desain supaya orang membayar pajak menjadi lebih mudah," katanya.
3. Aplikasi e-SPT Diperbarui, DJP: Sudah Akomodasi Tarif PPh OP Terbaru
DJP mengunggah aplikasi e-SPT Masa PPh Pasal 21-26 versi 2.5.0.0 guna mengakomodasi ketentuan dalam UU 7/2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP).
Ketentuan yang dimaksud adalah penambahan lapisan penghasilan kena pajak bagi wajib pajak orang pribadi yang diatur dalam UU HPP.
"Untuk pengguna yang telah menginstal aplikasi e-SPT Masa PPh Pasal 21-26 versi 2.4.0.0 sebelumnya maka cukup instal file patch update versi 2.5.0.0 yang tersedia," sebut DJP dalam keterangannya.
4. Bila Tidak Penuhi 3M, Natura Tak Bisa Dibiayakan oleh Pemberi Kerja
Pemberian imbalan berupa natura dan kenikmatan tidak dapat dibiayakan oleh pihak pemberi kerja bila pemberian natura dan kenikmatan tersebut tidak memenuhi ketentuan Pasal 23 ayat (2) PP 55/2022.
Merujuk pada pasal tersebut, biaya yang timbul akibat pemberian natura dan kenikmatan dapat dibiayakan sepanjang merupakan biaya untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan (3M).
"Biaya penggantian atau imbalan yang diberikan dalam bentuk natura dan/atau kenikmatan berkenaan dengan pekerjaan atau jasa dapat dikurangkan dari penghasilan bruto…," bunyi Pasal 23 ayat (2) PP 55/2022.
5. PP 55/2022 Memuat Instrumen Antipenghindaran Pajak, Ini Kata DJP
PP 55/2022 turut memuat ketentuan terkait dengan benchmarking dan penerapan prinsip substance over form sebagai instrumen untuk menangani praktik penghindaran pajak.
Suryo Utomo mengatakan instrumen antipenghindaran pajak disiapkan guna mencegah tergerusnya basis pajak akibat praktik base erosion and profit shifting (BEPS).
"Kalau bicara antarnegara itu yang dikhawatirkan adalah erosi basis pajak. Berpindahnya pemajakan dari suatu negara ke negara lain menggunakan vehicle. Ini yang betul-betul kami coba dudukkan," katanya. (sap)