Senior Partner DDTC Danny Septriadi (kanan bawah) dan Senior Manager Tax Compliance & Litigation at DDTC Khisi Armaya Dhora (kanan atas).
JAKARTA, DDTCNews - Pemerintah dinilai perlu melanjutkan upaya simplifikasi layanan sekaligus memberikan pendampingan bagi wajib pajak pelaku UMKM.
Senior Partner DDTC Danny Septriadi mengatakan tarif pajak khusus yang diberlakukan kepada UMKM sudah tergolong kecil sehingga tidak memberatkan. Meski demikian, UMKM tetap memerlukan pendampingan agar dapat melaksanakan kewajiban pajaknya dengan baik.
"Saya paham [dengan tarif pajak] 0,5%, mereka akan sangat mau membayar. Tinggal bagaimana di awal-awal mereka saat bertumbuh dilakukan pendekatan secara personal, jangan langsung secara formal disurati," katanya dalam webinar Reformation of Taxation to Support SMEs During the Transition to Endemic, Sabtu (19/11/2022).
Danny mengatakan UMKM sering dianggap sebagai hard-to-tax sector karena sifatnya informal dan transaksinya didominasi tunai. Kondisi ini menyebabkan data soal UMKM sulit dihimpun dan pengenaan pajaknya makin menantang.
Jumlah pelaku UMKM yang terdaftar dalam sistem administrasi pajak dan penerimaan juga masih jauh dari kondisi yang seharusnya. Sejauh ini, tercatat hanya 2,31 juta atau 3,6% UMKM yang terdaftar sebagai wajib pajak, dari total pelaku UMKM yang mencapai 64,2 juta. Sedangkan untuk kepatuhan pajaknya baru 15%.
Secara umum, ketentuan pajak yang berlaku saat ini sudah menguntungkan bagi UMKM. Skema presumptive taxation yang dipakai juga membuat penghitungan pajak pajak UMKM lebih memudahkan.
Melalui PP 23/2018, UMKM dikenakan tarif PPh final hanya sebesar 0,5% dari peredaran bruto. Namun, UMKM juga memiliki kewajiban untuk memotong pajak lain seperti PPh Pasal 21 jika memiliki pegawai, PPh Pasal 23 jika berbentuk badan, dan PPh Pasal 4 ayat (2) jika ditunjuk sebagai pemotong.
"Umumnya ini yang menjadi burden untuk pelaku UMKM," ujarnya.
Danny menilai Ditjen Pajak (DJP) dan Kemenkeu sudah berupaya mempermudah UMKM menjalankan kewajiban pajaknya dengan menyediakan layanan digital seperti aplikasi M-Pajak. Menurutnya, aplikasi tersebut perlu terus dikembangkan hingga dapat menyediakan fitur pembukuan untuk UMKM.
Dia memandang banyak UMKM mengalami permasalahan soal pembukuan karena mereka lebih fokus untuk merekrut pegawai untuk bagian penjualan dan stok. Andai memiliki sistem dan pegawai yang mengurus pembukuan, Danny melanjutkan, biasanya perputaran pegawai tersebut sangat cepat sehingga UMKM perlu waktu dan biaya ekstra untuk memberikan pelatihan.
Di sisi lain, ketentuan PPh final 0,5% pada PP 23/2018 yang memiliki batas waktu atau grace period mengharuskan setiap UMKM harus siap bermigrasi ke rezim pajak umum yang menggunakan pembukuan.
"Sehingga di sini perlu dilakukan pendampingan aktif dari AR [account representative] agar pelaku UMKM aman dan nyaman dalam berusaha. Saya melihat apa yang dilakukan DJP dan Kemenkeu sudah inline, tinggal bagaimana lebih masif disosialisasikan agar UMKM tidak lagi takut atau khawatir ke kantor pajak untuk konsultasi dan pendampingan," imbuhnya.
Sementara itu, Ketua Program Studi Akuntansi Perpajakan Universitas Padjadjaran (Unpad) Muhammad Dahlan menilai isu daya saing menjadi salah satu tantangan yang dihadapi pelaku UMKM. Menurutnya, UMKM perlu terus didukung agar mampu tumbuh secara sehat dan berdaya saing, termasuk dari sisi perpajakan.
Dia menyebut keberadaan UMKM yang sehat juga pada akhirnya akan berdampak positif terhadap penerimaan pajak.
"SMEs sebagian sudah menjadi sumber penerimaan negara. Diharapkan bagaimana mereka bisa lebih baik dan bisa sustainable," katanya.
Webinar Reformation of Taxation to Support SMEs During the Transition to Endemic diadakan Himpunan Mahasiswa Akuntansi Perpajakan Fakultas Ekonomi dan Bisnis (FEB) Unpad. Dalam webinar ini, Senior Manager Tax Compliance & Litigation at DDTC Khisi Armaya Dhora bertindak sebagai moderator. (sap)