Ilustrasi.
JAKARTA, DDTCNews – Pemberian insentif pajak – yang dapat dikelompokkan dalam belanja perpajakan (tax expenditure) – berkorelasi dengan penegakan hukum.
Dalam Revenue Statistics in Asia and the Pacific 2022, OECD menyatakan meskipun sering diklaim dapat menciptakan investasi baru dan meningkatan penerimaan pajak, pemberian insentif secara empiris dikaitkan dengan penerimaan pajak korporasi yang lebih rendah.
“Akhirnya, tax expenditure cenderung meningkatkan penegakan hukum,” demikian bunyi laporan yang dirilis Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD) bertajuk Strengthening Tax Revenues in Developing Asia, dikutip pada Jumat (29/7/2022).
Berdasarkan pada laporan tersebut, selain mengurangi penerimaan, tax expenditure juga berisiko menurunkan efisiensi dan kesetaraan sistem pajak melalui penyempitan basis pajak serta distorsi struktur tarif.
Tidak jarang pula pemerintah perlu mengimbangi pengurangan penerimaan melalui pengenaan beban pajak lebih tinggi pada pos lain atau penurunan belanja negara. Selain itu, insentif juga berisiko menciptakan unlevel playing field dan melemahkan persaingan.
Dengan adanya berbagai risiko tersebut, OECD menegaskan seperti belanja langsung, tax expenditure harus memiliki kejelasan tujuan dan justifikasi kebijakan agar tepat sasaran. Hal ini juga terkait dengan alasan efisiensi dan hemat biaya jika menggunakan tax expenditure dibandingkan dengan alternatif kebijakan lainnya.
Tax expenditure yang dirancang dengan baik dapat memajukan tujuan kebijakan sosial, termasuk di dalamnya menyangkut promosi inklusi gender. Setiap negara juga perlu mempertimbangkan mengenai efektivitas penurunan beban pajak dengan peningkatan investasi secara keseluruhan.
Pajak hanyalah salah satu dari banyak faktor yang memengaruhi investasi. Ada faktor lain, seperti stabilitas politik dan kepastian hukum, yang lebih berperan. Oleh karena itu, perlu adanya reformasi yang lebih luas dan lebih murah untuk memperbaiki iklim investasi, bukan hanya lewat insentif pajak.
OECD juga menyoroti mengenai pelaporan tax expenditure. Pelaporan yang lebih baik, termasuk perkiraan biaya, serta tata kelola lebih kuat sangat penting untuk memastikan efektivitas tax expenditure.
Sebagai informasi, seperti dijelaskan dalam laporan OECD tersebut, tax expenditure merupakan perlakuan pajak preferensial yang diberikan kepada sektor, kegiatan, atau kelompok tertentu yang menyiratkan hilangnya potensi penerimaan.
Adapun perlakuan pajak itu termasuk pembebasan, pengurangan, kredit, penangguhan, penurunan tarif pajak. Perlakuan itu biasanya dimaksudkan untuk meningkatkan kesejahteraan sosial, mempromosikan pembangunan, dan mendukung tujuan kebijakan lainnya.
Di Indonesia sendiri, pemerintah sudah mulai memberikan transparansi tax expenditure dalam Nota Keuangan dan RAPBN 2019. Setelah itu, pemerintah rutin merilis laporan belanja perpajakan tiap tahunnya.
Adapun penjelasan konsep dan prinsip, serta komparasi tax expenditure bisa dibaca juga dalam Working Paper DDTC bertajuk Tax Expenditure Atas Pajak Penghasilan: Rekomendasi Bagi Indonesia yang diterbitkan pada 2014. (kaw)