Pengunjung mengamati radio berbahan kayu saat pameran UKM Pekan Kerajinan Jawa Barat di Trans Hotel, Bandung, Jawa Barat, Sabtu (14/5/2022). ANTARA FOTO/Raisan Al Farisi/rwa.
JAKARTA, DDTCNews - Radio sudah menjadi sarana komunikasi dan penyiaran di Bumi Nusantara sejak zaman kolonial Belanda. Dengan perannya yang penting, Badan Siaran Radio Hindia Belanda (NIROM) melakukan pemungutan iuran kepada setiap pemegang atau pengguna pesawat radio saat itu.
Bergerak ke era pascakemerdekaan, pemerintah mulai menyusun hukum dan aturan tersendiri terkait dengan pemungutan iuran radio atau yang kemudian disebut sebagai pajak radio. Di bawah kepemimpinan Menteri Keuangan Sjafruddin Prawiranegara, pemerintah menerbitkan UU 12/1947 tentang Pajak Radio.
Dikutip dari buku Jejak Pajak Indonesia Abad ke-17 sampai 1966 yang diterbitkan Ditjen Pajak, pajak radio diberlakukan atas semua alat yang dapat digunakan untuk menerima gelombang radio.
"Karena siaran radio saat itu diselenggarakan oleh pemerintah, yang mengeluarkan biaya tidak sedikit, para petugas memungut iuran yang bersifat sebagai pajak atas pesawat penerimaan radio," tulis DJP dalam buku terbitan tahun 2017 tersebut, dikutip Kamis (2/6/2022).
Kantor Pos, saat itu Kantor Pos Telegram Telepon, mencatat jumlah pesawat penerima radio pada tahun 1946 mencapai 37.238 unit. Angka tersebut hanya mencakup wilayah Jawa dan Madura saja.
UU Pajak Radio mengatur pungutan pajak dikenakan senilai Rp5 per bulan untuk setiap pesawat penerima gelombang radio. Dengan jumlah radio yang ada saat itu, pemerintah mematok target penerimaan dari pajak radio mencapai Rp2 juta.
"Jumlah pajak Rp5 per bulan dianggap tidak berat, mengingat bahwa yang mempunyai pesawat radio ialah orang-orang yang boleh dikatakan agak mampu," bunyi catatan DJP dalam buku Jejak Pajak Indonesia.
Menyusul jumlah radio yang terus meningkat, pada 1960 jumlah pajak radio yang harus dibayarkan meningkat menjadi Rp7,5 per bulan. Tarif pajak radio yang dinaikkan karena pemerintah menganggap nilai rupiah makin merosot dan pemerintah membutuhkan pendanaan lebih besar.
Pengenaan pajak radio lebih lanjut diatur kembali dalam UU 10/1968 tentang Penyerahan Pajak-Pajak Negara, Bea Balik Nama Kendaraan, Pajak Bangsa Asing, dan Pajak Radio kepada Daerah. Seiring dengan dinamika pengelolaan pajak pusat dan daerah, pemerintah kemudian menghapus ketentuan tentang pajak radio melalui UU 18/1997 tentang Pajak Daerah Dan Retribusi Daerah. (sap)