Ilustrasi.
JAKARTA, DDTCNews – Pengaturan pengenaan pajak pertambahan nilai (PPN) atas komisi yang diterima agen asuransi serta penetapan agen asuransi sebagai pengusaha kena pajak (PKP) dipandang perlu untuk memperluas basis pajak.
Kasubdit PPN Perdagangan, Jasa, dan Pajak Tidak Langsung Lainnya Ditjen Pajak (DJP) Bonarsius Sipayung mengatakan mayoritas agen asuransi ialah perorangan sehingga tak mungkin diperlakukan seperti PKP pada umumnya. Untuk itu, PPN dipungut sendiri oleh perusahaan asuransi.
"Jadi kuasa Pasal 16A [UU PPN] yang dimodifikasi. Mengapa dimodifikasi? Karena seluruh tanggung jawab mulai dari pemungutan, penyetoran, dan pelaporan ada di perusahaan asuransi," katanya, dikutip pada Minggu (17/4/2022).
Alhasil, lanjut Bonarsius, agen asuransi tidak menanggung beban administrasi apapun meski terdapat PPN yang terutang atas jasa agen asuransi. Dia berharap kebijakan tersebut dapat memaksimalkan penerimaan pajak dari sektor yang selama ini belum sepenuhnya terjangkau.
"Kalau selama ini belum terjangkau, ini adalah bagian dari perluasan basis. Mengapa? Karena yang selama ini lewat-lewat saja kita ambil," ujarnya.
Bonarsius menuturkan terdapat potensi senilai kurang lebih Rp1 triliun sampai dengan Rp2 triliun dari pengenaan PPN atas penyerahan jasa agen asuransi pada Peraturan Menteri Keuangan (PMK) No. 67/2022 ini.
Untuk diketahui, berdasarkan PMK 67/2022, agen asuransi yang telah memiliki NPWP dianggap telah dikukuhkan sebagai PKP. Apabila agen asuransi belum ber-NPWP, maka agen tersebut harus mendaftarkan diri ke KPP.
Tarif PPN atas penyerahan jasa agen asuransi sebesar 1,1% dari komisi atau imbalan dalam nama dan bentuk apapun yang dibayarkan kepada agen asuransi.
Dalam pelaksanaannya, bukti pembayaran komisi dari perusahaan asuransi kepada agen asuransi sudah dianggap sebagai faktur pajak atas penyerahan jasa agen asuransi. (rig)