Ilustrasi.
JAKARTA, DDTCNews – Ditjen Pajak (DJP) mengingatkan karyawan untuk tetap melaporkan Surat Pemberitahuan (SPT) Tahunan meskipun sudah dilakukan pemotongan pajak oleh pemberi kerja. Topik tersebut menjadi salah satu bahasan media nasional pada hari ini, Senin (14/3/2022).
Penyuluh Pajak Ahli Muda DJP Rumadi mengatakan bukti pemotongan pajak penghasilan (PPh) tidak sama dengan SPT Tahunan. Dengan sistem self-assessment, wajib pajak tetap perlu menghitung kembali penghasilan dan pajaknya serta melaporkan SPT Tahunan.
“Walaupun benar PPh sepanjang tahun sudah dipotong dan dibayarkan melalui pemberi kerja. Namun, bisa saja kita ternyata memiliki penghasilan lain yang belum dibayarkan PPh-nya. Jadi, kita tetap wajib menghitung membayar, apabila ada yang kurang, dan melaporkan SPT Tahunan,” katanya.
Sesuai dengan ketentuan, batas akhir penyampaian SPT Tahunan wajib pajak orang pribadi paling lambat 3 bulan setelah berakhirnya tahun pajak. Sementara itu, untuk SPT Tahunan wajib pajak badan paling lambat 4 bulan setelah berakhirnya tahun pajak.
Selain mengenai pelaporan SPT Tahunan, ada pula bahasan terkait dengan pembaruan daftar yurisdiksi partisipan dan yurisdiksi tujuan pelaporan untuk pertukaran informasi secara otomatis atau automatic exchange of information (AEOI).
Penyuluh Pajak Ahli Muda DJP Rumadi mengatakan wajib pajak yang memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) mempunyai kewajiban melaporkan SPT Tahunan sebagai bentuk tanggung jawab pajak selama 1 tahun terakhir.
Sistem pajak di Indonesia menganut self-assessment. Untuk itu, wajib pajak diberikan kepercayaan secara penuh untuk melaporkan sendiri penghitungan pelaporan pajak, pemotongan pajak, atau pemungutan pajak.
"Jadi, di akhir tahun ini apapun profesi kita, baik itu karyawan, TNI/Polisi, pedagang, UMKM, artis, youtuber, pengusaha, dan lain-lain, harus menghitung lagi penghasilan kita yang terutang setiap tahun. Ini termasuk yang sudah dipungut atau dipotong oleh pihak lain," ujarnya. (DDTCNews)
Dirjen Pajak Suryo Utomo menyampaikan realisasi penyampaian SPT Tahunan 2021 hingga Kamis (10/3/2021), mencapai 5,4 juta pelaporan. Jumlah tersebut terdiri atas 5,26 juta SPT Tahunan 2021 wajib pajak orang pribadi dan 135.000 SPT Tahunan 2021 wajib pajak badan.
"Di tahun ini pandemi Covid-19 sudah agak berbeda dengan tahun kemarin saatnya kita bisa berpartisipasi menyampaikan SPT Tahunan wajib pajak badan maupun orang pribadi," kata Suryo. (DDTCNews/Kontan)
DJP memperbarui daftar yurisdiksi partisipan dan yurisdiksi tujuan pelaporan untuk pertukaran informasi secara otomatis atau AEOI. Daftar baru yurisdiksi partisipan dan yurisdiksi tujuan pelaporan AEOI tercantum dalam PENG-1/PJ/2022 yang ditetapkan pada 10 Maret 2022.
Merujuk pada lampiran PENG-1/PJ/2022, tercatat ada 113 yurisdiksi yang tercantum dalam daftar yurisdiksi partisipan dan 95 yurisdiksi dalam daftar yurisdiksi tujuan pelaporan. Jumlah itu bertambah dari sebelumnya 108 yurisdiksi partisipan dan 87 yurisdiksi tujuan pelaporan. (DDTCNews/Kontan)
DJP terus meningkatkan persentase jumlah putusan yang dimenangkan di Pengadilan Pajak meskipun targetnya masih belum tercapai. Merujuk realisasi indikator kinerja utama (IKU) pada Laporan Kinerja (Lakin) DJP Tahun 2021, persentase jumlah putusan yang mempertahankan objek banding/gugatan di Pengadilan Pajak belum mencapai target 44%.
"Persentase jumlah putusan yang mempertahankan objek banding/gugatan di Pengadilan Pajak pada 2019 sebesar 40,54%, tahun 2020 naik menjadi 43,10%. Pada 2021, naik menjadi 43,25%," tulis DJP dalam laporan tersebut. (DDTCNews)
Anggota Komisi XI DPR RI Andreas Eddy Susetyo meminta pemerintah membuat kajian baru dan melakukan konsultasi dengan parlemen apabila ingin menunda implementasi tarif pajak pertambahan nilai (PPN) sebesar 11% yang merupakan amanat UU HPP.
"Badan Kebijakan Fiskal (BKF) harus membuat kajian yang merupakan alasan penundaan, termasuk di dalamnya dampak terhadap fiskal dan makroekonomi," kata Andreas. (DDTCNews) (kaw)