Staf Ahli Kepatuhan Pajak Kementerian Keuangan Yon Arsal.Â
DENPASAR, DDTCNews - Ditjen Pajak (DJP) akan menggunakan seluruh instrumen yang ada guna mencegah praktik penghindaran pajak walaupun skema alternative minimum tax (AMT) dan general anti avoidance rule (GAAR) urung masuk dalam UU HPP.
Staf Ahli Kepatuhan Pajak Kementerian Keuangan Yon Arsal mengatakan walaupun AMT tidak disetujui, DJP masih punya mekanisme lain untuk mengawasi wajib pajak.
"Kita memiliki mekanisme pemeriksaan yang selama ini kita lakukan. Datanya kita periksa berdasarkan data lembaga keuangan, data dari kementerian terkait, data internal, data pemotong/pemungut, dan sebagainya," ujar Yon dalam Media Gathering DJP yang dilaksanakan di KPP Madya Denpasar, Rabu (3/11/2021).
Seluruh data tersebut dioptimalkan penggunaannya untuk memastikan wajib pajak telah memenuhi kewajiban perpajakannya sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
"Yang tadinya kita ingin mengenalkan AMT, karena memang belum disetujui maka kita akan optimalkan dengan infrastruktur yang sedang kita bangun saat ini," ujar Yon.
Mengenai GAAR, Yon mengatakan, pemerintah masih memiliki opsi untuk memperkuat specific anti avoidance rule (SAAR). Yon mengatakan saat ini Indonesia telah memiliki banyak ketentuan SAAR. SAAR akan terus diperkuat melalui beragam ketentuan khusus.
"Nanti SAAR perkembangannya mengikuti SAAR yang ada di negara lain juga. Ini bagian dari upaya internasional juga. Oleh karena mekanisme bisnis terus berkembang, maka mekanisme SAAR akan diperkuat juga," ujar Yon.
SAAR dinilai masih mampu menekan praktik penghindaran pajak secara agresif melalui skema perpajakan internasional.
Seperti diketahui, AMT dan GAAR adalah 2 ketentuan yang diusulkan oleh pemerintah dalam pembahasan UU HPP bersama DPR RI. Melalui AMT, pemerintah awalnya mengusulkan pengenaan tarif pajak minimum sebesar 1% atas peredaran bruto terhadap wajib pajak badan yang melaporkan rugi secara artifisial.
Melalui GAAR, pemerintah rencananya akan diberi kewenangan untuk melakukan koreksi yang diindikasi dapat mengurangi, menghindari, atau menunda pembayaran pajak yang bertentangan dengan maksud dan tujuan ketentuan peraturan perundangan-undangan di bidang perpajakan.
Kedua klausul ini penting untuk menekan praktik penghindaran pajak yang dilakukan oleh wajib pajak badan.
Kementerian Keuangan mencatat total wajib pajak yang melaporkan kerugian sejak 2015 hingga 2019 mencapai 9.496 wajib pajak, meningkat 83% dibandingkan dengan periode 2012 hingga 2016 sebanyak 5.199 wajib pajak. Hal ini mengindikasikan maraknya praktik penghindaran pajak yang dilakukan oleh wajib pajak badan. (sap)