Ilustrasi.
JAKARTA, DDTCNews - Pelaku usaha berharap pemerintah dan DPR mengkaji ulang penerapan pajak karbon yang masuk dalam RUU Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP).
Sekjen Asosiasi Industri Olefin, Aromatik dan Plastik Indonesia (Inaplas) Fajar Budiono mengatakan industri petrokimia tetap dapat ikut terdampak meski tidak menjadi subjek pajak. Hal ini terjadi jika pembangkit listrik batu bara menjadi subjek pajak karbon.
"Jika yang nanti berlaku pada PLTU batu bara maka industri petrokimia akan terdampak secara tidak langsung," katanya dikutip pada Minggu (3/10/2021).
Fajar menerangkan penerapan pajak karbon pada pembangkit listrik yang menghasilkan emisi akan meningkatkan biaya produksi industri petrokimia. Imbasnya, kenaikan tersebut akan ditransmisikan pada harga jual kepada konsumen.
Asosiasi memperkirakan tarif pajak karbon sebesar Rp30/Kg CO2 ekuivalen berpotensi meningkatkan harga jual mulai 1% hingga 5%. Untuk itu, pemerintah dan DPR perlu mengkaji ulang pajak karbon tidak hanya berdasarkan kondisi domestik, tetapi juga perkembangan internasional.
"Saat tarif listrik naik maka harga jual naik sekitar 1% hingga 5%," tuturnya.
Fajar menjelaskan beberapa negara mulai kembali menggunakan batu bara dalam menghadapi tantangan krisis energi. Hal tersebut berlaku di Inggris dan China yang akan menggunakan batu bara untuk mengatasi krisis energi saat ini.
"China dan Inggris pakai batu bara lagi karena krisis energi. Hal seperti ini harus dilihat dengan hati-hati agar tidak kehilangan momentum dan kehilangan daya saing," ujarnya. (rig)