Staf Ahli Menkeu Bidang Pengawasan Pajak Nufransa Wira Sakti berbincang dengan Managing Partner DDTC Darussalam dalam Frans Membahas.
JAKARTA, DDTCNews – Seluruh pihak harus memahami sifat dari pajak pertambahan nilai (PPN). Pemahaman diperlukan agar seluruh pihak dapat secara jernih melihat rencana pengurangan pengecualian pengenaan PPN beberapa barang dan jasa.
Topik ini menjadi perbincangan dalam kanal Youtube Frans Membahas edisi terbaru. Sebagai informasi, kanal ini diampu langsung oleh Staf Ahli Menkeu Bidang Pengawasan Pajak Nufransa Wira Sakti.
Frans Membahas dirilis perdana pada 16 April 2020. Hingga saat ini, sudah ada 32 video Frans Membahas. Topik ekonomi dan keuangan menjadi bahasan dalam kanal tersebut. Adapun topik mengenai pajak mengambil porsi cukup besar.
Nufransa telah berbincang dengan banyak pihak dan dipublikasikan dalam kanal tersebut. Dalam beberapa episode yang membahas mengenai pajak, Nufransa telah berbincang dengan Dirjen Pajak Suryo Utomo, Staf Ahli Menkeu Bidang Kepatuhan Pajak Yon Arsal, dan beberapa direktur di DJP.
Dalam video terbaru, yakni Frans Membahas episode 32, Nufransa berbincang dengan Managing Partner DDTC Darussalam. Bertajuk PPN Sembako Menurut Darussalam, keduanya berbicara mengenai salah satu rencana yang masih hangat diperbincangkan publik, yakni pengenaan PPN atas sembako, jasa pendidikan, dan jasa kesehatan.
Darussalam mengatakan pada dasarnya, sifat PPN berbeda dengan pajak penghasilan (PPh). PPN, lanjut dia, melekat pada objek berupa barang dan jasa. Dengan demikian, PPN tidak memedulikan subjek atau orang yang mengonsumsi barang dan jasa tersebut. Sifat ini berbeda dengan PPh yang tergantung pada subjek dan dasar kemampuannya (ability to pay).
“Sekarang kan coba untuk dikenakan, [tetapi] orang bilang [kebijakan itu] enggak adil karena nanti masyarakat kecil dikenakan pajak. Nah, sekarang saya balik. Kalau ini tidak dikenakan, berarti masyarakat yang kemampuan tinggi juga enggak kena pajak. Enggak adil juga,” jelas Darussalam.
Perbedaan sifat antara PPN dan PPh tersebut, sambung dia, harus dipahami. Berdasarkan pada hasil riset atas 31 negara berkembang yang dipublikasikan World Bank, kebijakan berupa 0%, pengecualian, atau pembebasan justru akan membuat sifat regresif PPN relatif kian kuat dan kian tidak adil.
Pembebasan PPN justru dinikmati oleh orang-orang berpenghasilan tinggi. Hal ini dikarenakan masyarakat berpenghasilan rendah mayoritas mengonsumsi barang di sektor informal yang sudah dipastikan tidak memuat mekanisme PPN.
Sementara itu, masyarakat berpenghasilan menengah ke atas mengonsumsi barang di pasar-pasar modern yang sudah memuat mekanisme pajak keluaran dan pajak masukan dalam PPN. Jika ada pembebasan PPN, kalangan masyarakat inilah yang menikmatinya.
“Jadi, enggak akan pernah selesai perdebatannya kalau dibawa ke ranah adil dan tidak adil. Ini karena nature-nya memang PPN itu enggak peduli masalah kemampuan. Kita harus paham dulu,” imbuh Darussalam.
Apalagi di Indonesia, pada 2019, belanja pajak akibat pengecualian PPN tercatat mencapai Rp73 triliun atau 29% dari total belanja perpajakan senilai Rp257,2 triliun. Simak Infografis ‘Tren Belanja Perpajakan untuk Pengecualian PPN’.
Menurutnya, jika pengecualian itu dihapus, ada potensi penerimaan negara sekitar Rp73 triliun. Dari penerimaan tersebut, pemerintah bisa melakukan redistribusi kepada masyarakat berpenghasilan rendah dalam bentuk pemberian subsidi. Apalagi, redistribusi penghasilan juga fungsi dari pajak.
Seperti diketahui, pemerintah berencana mengurangi pengecualian pengenaan PPN yang selama ini tertuang dalam UU PPN melalui RUU Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP). Bila disetujui, hanya restoran, hotel, parkir, dan hiburan selaku objek pajak daerah; uang dan emas batangan; jasa pemerintahan; dan jasa penceramah yang dikecualikan dari pengenaan PPN.
Barang dan jasa yang tergolong sebagai kebutuhan pokok, jasa pendidikan, dan jasa kesehatan akan menjadi objek PPN. Meski demikian, pemerintah berencana mengenaikan skema PPN multitarif. Akan ada tarif yang lebih rendah dari tarif umum PPN.
Terkait dengan skema PPN multitarif, Darussalam mengatakan sekitar 67% negara di dunia memang sudah mengadopsinya. Mayoritas dari mereka berangkat dari adanya argumentasi ketidakadilan. Kebijakan ini menjadi jalan tengah meskipun sudah mengetahui sifat PPN hanya melihat objek.
“Jadi, sesuatu yang tidak adil itu coba diramu. Diambil jalan tengahnya. Secara teori, skema multitatif ini bukan yang terbaik tapi second base policy, enggak ada pilihan,” imbuh Darussalam.
Dari sisi administrasi pajak, menurut Darussalam, Ditjen Pajak (DJP) bisa memanfaatkan momentum pembaruan sistem inti administrasi pajak (PSIAP). (kaw)