SEMINAR NASIONAL PERPAJAKAN 2021 - FIA UB

Ada Pandemi Covid-19, Ini Kebijakan Fiskal yang Dijalankan Pemerintah

Redaksi DDTCNews
Sabtu, 25 September 2021 | 14.25 WIB
Ada Pandemi Covid-19, Ini Kebijakan Fiskal yang Dijalankan Pemerintah

Staf Khusus Menteri Keuangan Chandra Fajri Ananda di Seminar Nasional Perpajakan 2021 yang digelar FIA UB. (tangkapan layar)

Jakarta, DDTCNews – Kebijakan fiskal yang akomodatif terhadap berbagai tantangan ekonomi menjadi senjata pemerintah dalam mempercepat proses pemulihan pascapandemi. Pemerintah sendiri mengeklaim ragam insentif fiskal yang digelontorkan sudah cukup menjawab tantangan yang ada saat ini.

Staf Khusus Menteri Keuangan Chandra Fajri Ananda menyampaikan perekonomian nasional sebenarnya sudah mulai mengalami tekanan sebelum terjadinya pandemi Covid-19. Hal ini tercermin dari tren penurunan pertumbuhan konsumsi rumah tangga hingga di bawah 5% pada pengujung 2019.

Kondisi ini lantas diperburuk dengan hantaman pandemi Covid-19 mulai kuartal I/2020. Merespons kondisi ini, pemerintah menggelontorkan berbagai insentif dengan menggenjot konsumsi rumah tangga. Langkah ini memiliki konsekuensi pelebaran defisit anggaran.

"Oleh karena itu diperlukan Perpu yang memperbolehkan defisit melebihi batasan yang ditetapkan dalam undang-undang dasar," ujar Chandra melalui paparannya di Seminar Perpajakan Nasional 2021 FIA Universitas Brawijaya, berjudul Dinamika Kebijakan Fiskal dalam Mempersiapkan Perekonomian Indonesia Pascapandemi, Sabtu (25/9/2021).

Pemerintah, ujar Chandra, lantas menjalankan kebijakan fiskal yang fokus untuk penyelamatan nyawa masyarakat, pemulihan ekonomi, dan penguatan fondasi ekonomi. Pelaksanaan kebijakan fiskal ini pun dilakukan melalui 3 kelompok garis waktu.

Pertama, pada 2020 dilakukan penerbitan kebijakan yang sifatnya extraordinary dan reopening. Hal ini dengan penerbitan Perpu 1/2020 yang mengatur perluasan batasan defisit keuangan negara serta berbagai stimulus untuk pemulihan ekonomi.

Kedua, pada 2021-2022 dilakukan kebijakan yang fokus pada recovery dan reformasi. Hal ini dilakukan dengan penanganan pandemi, program vaksinasi, dan akselerasi program PEN.

Ketiga, pada 2023 akan dilakukan kebijakan yang berfokus pada konsolidasi fiskal melalui pendisiplinan untuk keberlanjutan jangka panjang.

"Sepanjang 2021 ini, alokasi APBN untuk penanganan kesehatan dan perlindungan masyarakat yang terdampak Covid-19 melalui program PEN senilai Rp744,77 triliun. Fokus dari program PEN tersebut yakni dengan penguatan konsumsi rumah tangga, mendorong, mendorong konsumsi pemerintah, dan mendorong investasi sektor publik," kata Chandra.

Kendati progres pemulihan ekonomi masih berlangsung, hasilnya sudah mulai terlihat. Pemerintah mencatat adanya penurunan tingkat pengangguran terbuka hingga 1,02 juta orang dan terciptanya lapangan pekerjaan baru bagi 2,61 juta orang. Di samping itu, tingkat kemiskinan juga mengalami penurunan di banding awal pandemi, dengan pengurangan 0,01 juta orang. 

Dengan ragam kebijakan fiskal yang ditawarkan, masih ada beberapa celah yang perlu ditambal. Para akademisi dan ekonom pun ikut memetakan strategi penyusunan kebijakan fiskal ke depan. Salah satu masukan datang dari ekonom senior Faisal Basri.

Dia mengingatkan tax ratio Indonesia masih berada di level yang rendah. Dari 140 negara, Indonesia ada di urutan 127 dalam hal tax ratio. Saat kebutuhan pembiayaan negara dari pajak terus meningkat, ujarnya, tax ratio justru terus menurun.

"Kalau tax ratio begini terus maka ambisi pembangunan tidak tercukupi pembiayaannya. Akhirnya, kita memilih utang. Hal ini akan membebani generasi selanjutnya sekaligus membebani keuangan negara untuk membayar bunga utang,” ujar Faisal pada acara yang sama.

Namun demikian, sambung Faisal, masih ada kesempatan untuk meningkatkan tax ratio hingga menyentuh 12% hingga 13%. Hal itu dapat dilakukan dengan memperluas basis pajak, menaikkan pajak capital gain, serta mengejar pajak penghasilan dari orang kaya dan super kaya di Indonesia.

Catatan lain dari Faisal adalah insentif fiskal yang ada saat ini terlalu diarahkan untuk meningkatkan investasi. Insentif itu seperti tax holiday, tax allowance, investment allowance, dan supertax deduction. Padahal, menurutnya, selama ini investasi di Indonesia tidak berkontribusi besar bagi penerimaan negara.

Lebih lanjut, menurut Faisal, pemerintah perlu mengoptimalkan penerimaan pajak dari sektor-sektor lain. Misalnya, sektor pertambangan, sektor konstruksi, dan real estat. Pemerintah juga perlu terus memajukan sektor yang memberikan kontribusi pajak sangat tinggi, seperti sektor manufaktur. (rizki zakariya/sap)

Cek berita dan artikel yang lain di Google News.
Bagikan:
user-comment-photo-profile
Belum ada komentar.