Ilustrasi, Berita Pajak Sepekan.
JAKARTA, DDTCNews - Ditutupnya 2 aplikasi elektronik oleh Ditjen Pajak (DJP) menjadi salah satu topik terpopuler pekan ini, 30 Agustus—3 September 2021.
Melalui unggahan di media sosial pada Selasa (31/8/2021) lalu, DJP menyatakan dua aplikasi yang ditutup adalah aplikasi e-form versi lama dan aplikasi electronic filing identification number (EFIN) yang sebelumnya dapat diakses pada laman efin.pajak.go.id.
"#KawanPajak bisa menggunakan e-form versi pdf dan melakukan proses aktivasi/lupa EFIN melalui kantor pelayanan pajak," tulis DJP dalam unggahannya.
Otoritas pun memberikan penjelasan mengenai keputusan ini. Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Humas DJP Neilmaldrin Noor mengatakan isu keamanan data menjadi pertimbangan utama otoritas pajak memutuskan untuk menutup kedua aplikasi tersebut.
"Penutupan dua aplikasi, e-form versi lama dan EFIN, disebabkan oleh alasan keamanan," katanya.
Neilmaldrin menjelaskan isu keamanan yang muncul disebabkan perangkat lunak yang digunakan untuk menjalankan kedua aplikasi tersebut merupakan versi lama (out of date) sehingga membuka risiko keamanan data yang tersimpan dalam aplikasi tersebut.
Selain topik di atas, keputusan pemerintah menurunkan tarif pajak penghasilan (PPh) bunga obligasi juga ramai diperbincangkan warganet.
Melalui Peraturan Pemerintah (PP) No. 91/2021, pemerintah resmi memangkas tarif PPh final atas bunga obligasi yang diterima oleh wajib pajak dalam negeri dan bentuk usaha tetap (BUT) dari 15% menjadi 10%.
Pemerintah menyatakan kebijakan penurunan tarif PPh atas penghasilan bunga obligasi yang diterima atau diperoleh wajib pajak luar negeri bertujuan untuk menciptakan kesetaraan beban PPh antara investor obligasi.
"Serta untuk lebih mendorong pengembangan dan pendalaman pasar obligasi [maka] perlu menggantikan PP 16/2009 … sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan PP 55/2019," sebut pemerintah dalam bagian pertimbangan PP 91/2021.
Tarif PPh final atas bunga obligasi sebesar 10% dikenakan atas 3 jenis dasar pengenaan pajak (DPP). Pertama, atas bunga dari obligasi dengan kupon maka DPP ditetapkan sebesar jumlah bruto sesuai dengan masa kepemilikan obligasi.
Kedua, atas diskonto dari obligasi dengan kupon, DPP ditetapkan sebesar selisih lebih harga jual atau nilai nominal di atas harga perolehan obligasi tidak termasuk bunga berjalan. Ketiga, atas diskonto dari obligasi tanpa bunga, DPP ditetapkan sebesar selisih lebih harga jual atau nilai nominal di atas harga perolehan obligasi.
Berikut 5 berita pajak terpopuler lain dalam sepekan terakhir:
1. Penyidik Pajak Bisa Tangkap WP, Begini Rencana Aturannya
Penyidik DJP tidak bisa sembarangan menangkap wajib pajak (WP) pelaku tindak pidana pajak. Dalam praktiknya, penyidik DJP tetap perlu berkoordinasi dengan kepolisian dan aparat penegak hukum (APH) sebelum menangkap tersangka.
Melalui Rancangan Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cata Perpajakan (RUU KUP), pemerintah mengusulkan adanya kewenangan bagi penyidik untuk menangkap ataupun menahan tersangka yang melakukan tindak pidana di bidang pajak.
"Ini dalam konteks selama ini kita belum punya kewenangan itu, kita hanya minta bantuan polisi. Sementara di Bea Cukai ada kewenangan itu. Dalam operasionalnya nanti kita akan meminta kepada polisi atau APH dalam melakukan penangkapan atau penahanan tersangka," ujar Direktur Peraturan Perpajakan I DJP Hestu Yoga Saksama.
2. Rugikan Negara Rp153 M, Pengedar Faktur Pajak Fiktif Ditangkap
Penyidik DJP menangkap tersangka berinisial SS yang diduga membuat dan mengedarkan faktur pajak fiktif. Tindakan SS selaku pembuat dan pengedar faktur pajak fiktif telah merugikan negara sebesar Rp153 miliar.
Secara terperinci, SS diduga telah membantu wajib pajak pengguna faktur pajak fiktif berinisial LH. LH sendiri sebelumnya telah divonis bersalah oleh Pengadilan Negeri Jakarta Barat pada 2019.
Pembuatan faktur pajak fiktif ini dilakukan oleh SS, salah satunya melalui PT GLJM, sejak 2011 hingga 2013. Atas perbuatannya dalam membuat faktur pajak fiktif, SS menerima fee dengan persentase tertentu dari total PPN yang tercantum pada faktur pajak fiktif yang diterbitkan.
3. Ditjen Pajak Gencar Pakai Istilah Free Rider, Ini Alasannya
DJP mulai gencar menggunakan istilah free rider dalam sejumlah kesempatan. Free rider alias penumpang gelap adalah julukan bagi individu yang ikut menikmati hasil pembangunan tetapi enggan melakukan kontribusi melalui pembayaran pajak.
Neilmaldrin Noor mengatakan bahwa free rider sebenarnya bukan istilah baru yang dipakai otoritas. Menurutnya, penyebutan free rider merupakan bagian dari kegiatan sosialisasi DJP untuk meningkatkan pemahaman masyarakat mengenai tingkat kepatuhan pajak.
Melalui istilah tersebut, ujarnya, masyarakat umum menjadi lebih mudah mengerti terminologi teknis seperti kepatuhan pajak dan lainnya. Istilah tersebut juga banyak digunakan masyarakat umum.
4. Soal Rencana Pajak Penghasilan Minimum, Ini Kata Asosiasi UMKM
Asosiasi UMKM Indonesia (Akumindo) khawatir rencana pengenaan PPh minimum atau alternative minimum tax (AMT) akan berdampak terhadap pelaku usaha kecil dan menengah.
Ketua Umum Akumindo Ikhsan Ingratubun mengatakan wacana itu akan memberatkan pelaku usaha di tengah upaya bangkit dari tekanan pandemi Covid-19. Selain itu, pengenaan AMT juga berpotensi pengembangan UMKM.
"Ini sangat memberatkan UMKM. Perjuangan kami agar dapat tarif 0,5% saja luar biasa. Kalau dibuat [tarif AMT] 1%, teman-teman pasti menolak," katanya melalui konferensi video.
Ikhsan menuturkan RUU KUP memuat rencana pengenaan AMT pada wajib pajak yang mengaku rugi bertahun-tahun. Menurutnya, kebijakan itu sebaiknya tidak diberlakukan kepada UMKM yang secara skala usaha masih kecil dan rentan mengalami kerugian.
Menurutnya, skema pajak bagi UMKM sebaiknya tetap berpedoman pada substansi Peraturan Pemerintah (PP) No. 23/2018. Pada PP itu pun, ia mengusulkan pemerintah melakukan perubahan dengan tidak diberlakukan batas waktu.
5. Insentif Pasal 31E UU PPh Bakal Dihapus, DJP: Sudah Tidak Relevan
Makin rendahnya tarif PPh badan turut menjadi salah satu alasan bagi pemerintah untuk menghapus Pasal 31E UU PPh melalui RUU KUP. Hestu Yoga Saksama mengatakan tarif PPh badan yang makin rendah membuat insentif Pasal 31E menjadi tidak relevan.
"Mengingat PPh badan sudah mulai menurun, 22% dan 20% nanti [2022], kami melihat insentif ini sepertinya sudah tidak relevan lagi," katanya.
Untuk diketahui, Pasal 31E UU PPh adalah insentif khusus yang diberikan oleh pemerintah melalui UU 36/2008. UU tersebut adalah perubahan keempat atas UU 7/1983 tentang PPh.
Pasal tersebut ditambahkan oleh pemerintah ketika struktur tarif PPh badan diubah dari yang awalnya progresif menjadi tarif flat sebesar 28% dan turun menjadi 25% pada tahun pajak 2010 dan tahun-tahun selanjutnya.
Sebelum UU 36/2008, tarif PPh badan terdiri atas 3 lapisan. Lapisan penghasilan kena pajak hingga Rp50 juta, tarif PPh badan dipatok 10%. Untuk penghasilan di atas Rp50 juta hingga Rp100 juta, tarif PPh badan sebesar 15% dan penghasilan kena pajak di atas Rp100 juta dipatok 30%. (sap)