Partner of Tax Research & Training Services DDTC B. Bawono Kristiaji. (tangkapan layar)
JAKARTA, DDTCNews - Pandemi Covid-19 semakin mempertegas pentingnya reformasi pajak guna menciptakan iklim penerimaan yang lebih optimal.
Partner of Tax Research & Training Services DDTC B. Bawono Kristiaji mengatakan reformasi pajak merupakan agenda yang tergolong urgen untuk dijalankan. Urgensi dari reformasi pajak makin kentara setelah pandemi Covid-19 melanda Indonesia.
"[Reformasi pajak] bukan hanya urgen akibat pandemi, tapi pandemi ini mempercepat atau membuat kita semua tersadar bahwa kita punya PR fundamental yang sangat besar yaitu di sektor pajak," ujar Bawono dalam program Tax Time yang disiarkan oleh CNBC Indonesia, Jumat (3/9/2021).
Seperti diketahui, kinerja penerimaan pajak Indonesia dalam beberapa tahun terakhir masih belum optimal. Tak hanya memaksa pemerintah meningkatkan defisit anggaran, pandemi Covid-19 turut memunculkan urgensi konsolidasi fiskal demi penerimaan pajak yang lebih baik.
Bawono mengatakan pada masa awal pandemi, hampir semua negara di dunia melakukan ekspansi fiskal melalui pemberian insentif. Tren serupa juga terjadi di Indonesia.
Memasuki 2021, ujar Bawono, mulai tampak adanya tren pembalikan dengan munculnya kebijakan kenaikan tarif pajak dan pengenaan jenis pajak baru di berbagai negara. "Banyak negara yang melihat ada risiko fiskal yang harus dikelola, ada daya tahan anggaran yang terbatas. Akhirnya instrumen pajaknya juga sudah mulai untuk bagaimana cara mengoptimalkan penerimaan," ujar Bawono.
Berbaliknya tren fiskal ini juga tercermin melalui bergulirnya pembahasan Rancangan Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (RUU KUP). Pada RUU KUP, pemerintah mengusulkan sejumlah klausul yang berpotensi meningkatkan penerimaan seperti peningkatan tarif PPN dari 10% menjadi 12%, pengurangan barang dan jasa yang dikecualikan dari PPN, skema PPN multitarif, penambahan bracket PPh orang pribadi, hingga pemberlakuan alternative minimum tax (AMT) dan general anti avoidance rule (GAAR).
Reformasi pajak yang diusung pemerintah pada RUU KUP ini memang tak akan serta merta meningkatkan tax ratio dalam waktu singkat. Sebagaimana yang tercermin pada tren global dan krisis-krisis sebelumnya, penerimaan pajak cenderung pulih lebih lambat bila dibandingkan dengan pemulihan ekonomi.
Meski demikian, Bawono mengatakan RUU KUP memberikan harapan untuk perbaikan tax ratio secara jangka menengah. Sepanjang policy gap dan compliance gap dapat ditindaklanjuti, Indonesia berpeluang untuk meningkatkan tax ratio menuju 14,4% dari PDB.
"Dari sisi kepatuhan akan diatasi dengan pengembangan digitalisasi sistem administrasi pajak. Dari sisi kebijakan sudah ada UU Cipta Kerja dan RUU KUP. Jadi kalau ketiga instrumen tersebut hadir on time, menurut saya optimisme untuk 14,4% itu ada titik cerah," ujar Bawono. (sap)