Partner DDTC Fiscal Research B. Bawono Kristiaji dalam webinar bertajuk Kupas Tuntas PPN Sembako, Sabtu (28/8/2021). Acara digelar Tax Center Fakultas Ekonomi dan Bisnis (FEB) Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah.
JAKARTA, DDTCNews - Pemerintah perlu terus melakukan reformasi pajak pertambahan nilai (PPN) untuk mengurangi tax gap. Reformasi terutama dapat dilakukan dari sisi kebijakan.
Partner DDTC Fiscal Research B. Bawono Kristiaji mengatakan belanja perpajakan (tax expenditure) akibat pengecualian dari pengenaan PPN atas komoditas tertentu tergolong besar. Pengecualian itu amanat dari Pasal 4A UU Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP).
"Kalau dari sisi undang-undang, Pasal 4A UU KUP, pengecualian barang dan jasa seolah-olah sedikit. Namun, kalau bicara dari turunan-turunannya, scope besar," katanya dalam webinar bertajuk Kupas Tuntas PPN Sembako, Sabtu (28/8/2021).
Bawono mengatakan hasil riset DDTC Fiscal Research dan Bappenas pada 2019 mencatat tax gap pada PPN di Indonesia mencapai 49,5%. Data tersebut juga menunjukkan masih adanya gap dalam kebijakan dan kepatuhan.
Dalam acara yang digelar Tax Center Fakultas Ekonomi dan Bisnis (FEB) Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta ini, Bawono menilai pengumpulan PPN tidak optimal karena masih adanya kelemahan dari sisi kebijakan. Pengecualian atau fasilitas PPN terlalu banyak serta threshold pengusaha kena pajak (PKP) terlalu tinggi.
Mengutip studi yang dilakukan lembaga internasional seperti World Bank, Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD), dan Internasional Monetary Fund (IMF), Indonesia terlalu banyak memberikan fasilitas PPN melalui skema pengecualian, pembebasan, hingga ditanggung pemerintah (DTP).
Studi lainnya menunjukkan pemberian pengecualian PPN, bahkan pada barang kebutuhan pokok, lebih banyak dinikmati kelompok masyarakat kaya ketimbang berpenghasilan rendah. Kondisi tersebut dapat menciptakan revenue forgone atau hilangnya potensi penerimaan pajak.
Oleh karena itu, Bawono menyarankan pengenaan PPN berlaku secara umum tetapi pajak yang terkumpul didistribusikan kembali untuk kelompok masyarakat yang tidak mampu. Skema kebijakan ini juga sudah diusulkan pemerintah dalam revisi UU KUP.
“Mungkin ini jalan yang lebih baik daripada dengan skema pengecualian PPN tapi akhirnya jatuh ke tangan yang salah," ujarnya.
Sebagai informasi, webinar ini dibuka dengan sambutan dari Pembina Tax Center UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Wilda Farah dan Wakil Dekan III FEB Nur Rianto Al Arief. Akademisi bidang perpajakan sekaligus Sekretaris Prodi Akuntansi Fitri Damayanti hadir sebagai moderator. (kaw)