Dosen FEB Universitas Airlangga sekaligus Wakil Ketua II KAPj IAI dan Sekretaris II IAI Jawa Timur Elia Mustikasari memaparkan materi dalam webinar bertajuk Instrumen Pencegahan Penghindaran Pajak: General Anti-Avoidance Rule di Indonesia, Kamis (19/8/2021). (tangkapan layar Zoom)
JAKARTA, DDTCNews - Penerapan general anti-avoidance rule (GAAR) harus didukung dengan desain hukum, kapasitas administratif, serta infrastruktur yang baik. Pasalnya, GAAR memberi kewenangan luas pada otoritas pajak sehingga perlu ada perlindungan yang memadai untuk wajib pajak.
Dosen FEB Universitas Airlangga sekaligus Wakil Ketua II KAPj IAI dan Sekretaris II IAI Jawa Timur Elia Mustikasari mengatakan penerapan GAAR dapat memberantas praktik unacceptable tax avoidance. Namun, implementasi GAAR harus tetap sesuai dengan tujuan.
"Karena GAAR sifatnya memberikan wewenang yang luar biasa kepada otoritas pajak maka harus ada hal-hal yang perlu diperhatikan," ujar Elia dalam webinar bertajuk Instrumen Pencegahan Penghindaran Pajak: General Anti-Avoidance Rule di Indonesia, Kamis (19/8/2021).
Elia menjabarkan setidaknya ada 9 aspek yang harus diperhatikan dalam mengadopsi GAAR berdasarkan pada publikasi dari International Monetary Fund (IMF). Pertama, tujuan akhir dari GAAR adalah untuk memberantas praktik unacceptable tax avoidance.
Kedua, GAAR merupakan pilihan terakhir karena otoritas pajak harus memenuhi persyaratan dan memerlukan interpretasi undang-undang pajak untuk menghentikan praktik unacceptable tax avoidance.
Ketiga, GAAR dirancang untuk menghentikan praktik penghindaran pajak yang bertentangan dengan maksud dari undang-undang perpajakan.
Keempat, GAAR biasanya memberikan otoritas pajak kewenangan untuk membatalkan manfaat pajak tertentu atau mengenakan kewajiban pajak tambahan terhadap wajib pajak. Langkah itu dilakukan ketika tax avoidance dibuat hanya untuk memperoleh manfaat pajak yang relevan.
Kelima, desain hukum GAAR berpotensi menjadi kompleks karena arti frasa tax avoidance dapat berbeda untuk setiap pihak. Keenam, dalam memperkenalkan GAAR, otoritas harus memberikan perhatian pada desain hukum, kapasitas administratif, serta ketersediaan infrastruktur.
Ketujuh, infrastruktur negara untuk menyelesaikan sengketa pajak juga harus diperhatikan untuk menjamin perlindungan yang memadai bagi wajib pajak. Kedelapan, memperjelas garis pemisah antara transaksi yang akan dan tidak akan tertangkap GAAR.
Kesembilan, GAAR harus dirancang dan diterapkan agar tidak menghambat atau menghalangi transaksi komersial biasa. Hal ini untuk menjamin hak wajib pajak yang memang dapat secara sah memanfaatkan peluang yang tersedia guna menyusun atau melaksanakan suatu transaksi.
Selain itu, Elia menyebut GAAR berpotensi meningkatkan kasus sengketa pajak karena subjektivitas dalam menginterpretasikan ketentuan GAAR. Padahal, pada saat ini, kasus sengketa pajak di Pengadilan Pajak dan Mahkamah Agung yang belum diputus masih tinggi.
“Untuk itu, sistem hukum yang tidak kondusif ini perlu diselesaikan dahulu sebelum menerapkan GAAR yang sarat interpretasi. Ini karena GAAR berpotensi menambah kasus di Pengadilan Pajak dan peninjauan kembali di Mahkamah Agung,” pungkas Elia.
Dalam kesempatan tersebut, Elia juga menjelaskan tentang perbedaan pengertian tax planning, tax avoidance, tax evasion, perbedaan antara specific anti-avoidance rule (SAAR) dan GAAR, ketentuan SAAR di Indonesia, serta wacana ketentuan GAAR dalam RUU KUP.
Elia juga menjelaskan 6 fitur utama yang harus ada dalam desain aturan GAAR. Keenam fitur tersebut meliputi pengertian transaksi, definisi manfaat pajak, purpose test, pengecualian atau keringanan, peran substansi ekonomi, dan penetapan konsekuensi pajak.
Adapun webinar yang digelar DDTC Academy ini merupakan seri terakhir dari Webinar Series: University Roadshow. Acara ini juga menjadi bagian dari rangkaian acara untuk memeriahkan HUT ke-14 DDTC. (kaw)