Ilustrasi.
JAKARTA, DDTCNews – Pemerintah menilai pengaturan mengenai Mutual Agreement Procedure (MAP) saat ini kurang efektif.
Berdasarkan pada Naskah Akademik (NA) Rancangan Undang-Undang KUP (RUU KUP), proses MAP terancam terhenti apabila putusan banding telah diucapkan meskipun keduanya membahas materi yang berbeda.
Situasi tersebut timbul ketika suatu Surat Ketetapan Pajak (SKP) yang memuat materi yang disengketakan dalam MAP telah diputus oleh Pengadilan Pajak. Akan tetapi, materi yang diputus oleh Pengadilan Pajak tersebut berbeda dengan materi yang dibahas di dalam MAP.
Secara keseluruhan sampai dengan 2020, 54 dari 159 permohonan MAP (33,96%) juga diajukan banding oleh wajib pajak. Hal ini mengindikasikan adanya potensi penghentian MAP sebagai akibat telah diucapkannya putusan banding.
“Bahkan apabila materi yang dicakup dalam putusan banding tersebut berbeda dengan materi yang dibahas dalam MAP,” demikian ungkap pemerintah dalam NA RUU KUP, dikutip pada Selasa (13/7/2021).
Dalam NA RUU KUP disebutkan contoh ketika dalam 1 SKP terdapat dua jenis koreksi, yaitu koreksi transfer pricing dan koreksi biaya berdasarkan pada Pasal 6 dan Pasal 9. Untuk koreksi biaya berdasarkan pada Pasal 6 dan Pasal 9 diajukan keberatan dan banding. Sementara itu, untuk koreksi transfer pricing diajukan MAP.
Permasalahan muncul ketika pengadilan memutus sengketa atas koreksi Pasal 6 dan Pasal 9 dari suatu SKP tapi perundingan MAP belum selesai. Akibatnya, walaupun atas koreksi transfer pricing tidak diperiksa di pengadilan, SKP terkait tetap diputus sebagai satu kesatuan di Pengadilan Pajak.
“Akibat kondisi di atas, perundingan MAP dihentikan dengan hasil berupa ketidaksepakatan. Akhirnya, wajib pajak kehilangan hak untuk mendapatkan relief atas pemajakan berganda karena masalah administrasi, di mana di dalam 1 SKP terdapat beberapa sengketa dan masing-masing sengketa diajukan upaya hukum yang berbeda,” demikian penjelasan pemerintah.
Sebagai informasi, pengaturan MAP di Indonesia masih berada pada tingkat peraturan pelaksana, yaitu Peraturan Pemerintah Nomor 74 Tahun 2011 (PP 74/2011) yang diatur lebih lanjut dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 49 Tahun 2019 (PMK 49/2019).
Kondisi ini berbeda dengan keberatan dan banding yang rencananya diatur revisi RUU KUP. Keduanya merupakan mekanisme penyelesaian sengketa secara domestik yang secara kedudukan setara dengan MAP.
Merespons situasi tersebut, pemerintah mengusulkan perlunya pengaturan agar MAP tetap dapat dilaksanakan dan mencapai kesepakatan untuk kemudian diimplementasikan meskipun atas suatu SKP telah diputus di Pengadilan Pajak. Hal ini diusulkan berlaku sepanjang materi yang disengketakan di Pengadilan Pajak berbeda dengan materi yang diajukan MAP.
Dalam kondisi ini, wajib pajak tetap dapat memilih prosedur penyelesaian sengketa yang ditempuh untuk setiap materi koreksi. Cara ini dipercaya akan memberikan kepastian bagi wajib pajak bahwa MAP dapat berjalan efektif sehingga dapat mengeliminasi pemajakan berganda sehubungan dengan koreksi pemeriksa yang diajukan MAP.
Oleh karena itu, pengaturan MAP dirasa perlu dicantumkan di Undang-Undang KUP. Hal ini mengingat MAP sebagai alternatif penyelesaian sengketa sehingga posisinya setara dengan penyelesaian sengketa secara domestik seperti keberatan dan banding. Artinya, proses MAP dan keberatan/banding seharusnya dapat berjalan beriringan. (kaw)