Darmin Nasution.
JAKARTA, DDTCNews – Mantan Dirjen Pajak dan Menko Perekonomian Darmin Nasution memberikan beberapa catatan mengenai rencana program pengungkapan aset secara sukarela yang diusulkan melalui revisi Undang-Undang (UU) Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP).
Catatan pertama mengenai periode perolehan atau kepemilikan aset yang diungkapkan. Menurut Darmin periodenya terlalu panjang karena dimulai sejak 1985. Pemerintah, sambungnya, perlu memperhatikan durasi program agar efektif mendorong kepatuhan para wajib pajak.
"Di RUU ini ada pelaporan kekurangan pembayaran PPh di masa lalu, tapi panjang sekali periodenya," katanya dalam rapat bersama Komisi XI DPR, Rabu (7/7/2021).
Darmin mengatakan program pengungkapan aset sukarela akan memengaruhi kepatuhan wajib pajak. Walaupun tidak bernama amnesti pajak (tax amnesty), publik bisa berpandangan pemerintah akan kembali mengadakan program serupa pada masa yang akan datang.
Darmin kemudian membandingkannya dengan program sunset policy yang diadakan ketika dia menjabat dirjen pajak pada 2008. Saat itu, pemerintah hanya membatasi periodenya 3 tahun ke belakang, khusus untuk sektor perkebunan kelapa sawit dan pertambangan batu bara.
Walaupun periode pengungkapannya pendek, Darmin menyebut pajak yang dibayarkan sudah tergolong besar. Hal itu terjadi karena DJP mendorong semua pengusaha besar berpartisipasi dan menerapkan metode benchmarking atas pajak yang harus dibayarkan.
Pada program sunset policy, sebuah perusahaan kelapa sawit bisa membayar kekurangan pembayaran pajak hingga Rp1 triliun, sedangkan perusahaan batu bara berkisar Rp700 miliar sampai Rp1,2 triliun. Belum lagi jika ada perusahaan yang masuk ke proses penyidikan sehingga harus membayar denda 400%.
Selain soal periode perolehan harta, Darmin juga menyoroti rendahnya tarif pajak yang dikenakan pada wajib pajak. Menurutnya, wajib pajak yang mengungkapkan aset yang dimiliki pada periode 2007-2015 cukup diberikan pembebasan denda, tidak perlu sampai mendapatkan tarif khusus.
Darmin kemudian memberikan ilustrasi skema yang lebih dinilainya lebih ideal. Pengungkapan aset sepanjang 1985 hingga program sunset policy dapat dikenakan tarif pajak 15% atau 12% jika diinvestasikan dalam surat berharga negara (SBN) sekurang-kurangnya 5 tahun.
"Setelah itu, dari 2007 sampai 2015, kalau perlu hanya dibebaskan dendanya saja kalau dia melapor. Tarifnya normal saja, 30% atau 25% kalau gunakan dananya untuk SBN selama paling kurang 5 tahun," ujarnya.
Dalam rancangan revisi UU KUP, terdapat 2 skema kebijakan dalam program pengungkapan aset sukarela. Pada kebijakan I, pengungkapan aset hingga 31 Desember 2015 yang belum dilaporkan saat tax amnesty akan dikenakan PPh final 15% dari nilai aset atau 12,5% dari nilai aset jika diinvestasikan dalam SBN yang ditentukan pemerintah.
Melalui kebijakan tersebut, wajib pajak akan diberikan penghapusan sanksi. Pada wajib pajak yang gagal menginvestasikan asetnya dalam SBN, harus membayar 3,5% dari nilai aset jika mengungkapkan sendiri kegagalan investasi atau membayar 5% jika ditetapkan DJP.
Sementara pada kebijakan II, pengungkapan aset wajib pajak orang pribadi yang diperoleh pada 2016-2019 dan masih dimiliki sampai 31 Desember 2019 tetapi belum dilaporkan dalam SPT 2019. Wajib pajak akan dikenakan PPh final 30% dari nilai aset atau 20% jika diinvestasikan dalam SBN.
Wajib pajak tersebut juga akan diberikan fasilitas penghapusan sanksi. Sementara pada wajib pajak yang gagal investasi dalam SBN, harus membayar 12,5% dari nilai aset jika mengungkapkan sendiri kegagalan investasi atau 15% dari nilai aset jika ditetapkan DJP. (kaw)