Mantan Dirjen Pajak Hadi Poernomo dalam webinar bertajuk Mampukah SIN Pajak Mencegah Tipikor? yang diselenggarakan Asosiasi Konsultan Pajak Publik Indonesia (AKP2I), Rabu (2/6/2021).
JAKARTA, DDTCNews – Single identity number (SIN) perlu diterapkan untuk memperkuat upaya pencegahan dan pemberantasan praktik tindak pidana korupsi.
Mantan Dirjen Pajak Hadi Poernomo mengatakan bila seluruh data dan informasi dari berbagai pihak telah terhubung dengan sistem perpajakan melalui SIN, semua bentuk penghasilan yang bersumber dari aktivitas legal maupun ilegal dapat diketahui otoritas pajak.
"SIN pajak ini besar manfaatnya untuk pencegahan tindak pidana korupsi," ujar Hadi dalam webinar bertajuk Mampukah SIN Pajak Mencegah Tipikor? yang diselenggarakan Asosiasi Konsultan Pajak Publik Indonesia (AKP2I), Rabu (2/6/2021).
Hadi menerangkan uang yang bersumber dari tindak pidana korupsi selalu digunakan untuk 3 hal, yakni konsumsi, simpanan, atau investasi.
SIN mewajibkan seluruh instansi – mulai dari kementerian dan lembaga (K/L), pemda, BUMN, BUMD, hingga pihak wasta – untuk menyerahkan data yang bersifat rahasia dan nonrahasia serta finansial dan nonfinansial kepada Ditjen Pajak (DJP).
Dengan kondisi tersebut, lanjutnya, seluruh penghasilan dapat diketahui DJP. Data-data tersebut akan menjadi dasar otoritas pajak untuk memeriksa kebenaran dari Surat Pemberitahuan (SPT) yang disampaikan wajib pajak.
Bila wajib pajak tidak melaporkan atau menyampaikan penghasilannya secara tidak benar ke dalam Surat Pemberitahuan (SPT), DJP dapat melakukan audit atau pemeriksaan.
Dari sisi regulasi, sambung dia, SIN sesungguhnya sudah memiliki landasan hukum kuat karena ada Pasal 35A ayat (1) UU KUP yang mewajibkan instansi pemerintah, lembaga, asosiasi, dan pihak lain (ILAP) untuk menyerahkan data dan informasi perpajakan kepada DJP.
Sesuai dengan penjelasan dari Pasal 35A ayat (1) UU KUP, data dan informasi perpajakan dari ILAP sangat diperlukan DJP guna mengawasi kepatuhan wajib pajak dalam penerapan sistem self-assessment saat ini.
Data-data yang tercakup antara lain data yang menggambarkan kegiatan usaha, peredaran usaha, penghasilan, kekayaan, informasi debitur, data transaksi keuangan, kartu kredit, dan laporan keuangan yang disampaikan wajib pajak kepada instansi lain selain DJP.
Bila data dan informasi yang diserahkan dipandang tidak mencukupi, DJP berwenang untuk menghimpun data dan informasi guna mendukung kepentingan penerimaan negara. (kaw)