Kepala PPPK Setjen Kementerian Keuangan Firmansyah Nazaroedin dalam webinar Public Hearing Draf Rancangan Undang-Undang Pelaporan Keuangan (RUU PK), Kamis (3/12/2020). (foto: hasil tangkapan layar)
JAKARTA, DDTCNews - Pusat Pembinaan Profesi Keuangan (PPPK) Sekretariat Jenderal (Setjen) Kementerian Keuangan mencatat kepatuhan entitas bisnis dalam menyampaikan laporan keuangan sesuai dengan ketentuan masih rendah.
Kepala PPPK Setjen Kementerian Keuangan Firmansyah Nazaroedin mengatakan kepatuhan atas pelaporan keuangan yang rendah sudah terlihat dari jumlah wajib pajak badan. Pada 2017, jumlah wajib pajak badan hanya 3,11 juta perusahaan dari total 63 juta entitas bisnis.
"Ini seharusnya potensi pajak bagi pemerintah, dan pengembangan bisnis bagi 62,9 juta unit usaha itu seharusnya lebih baik," katanya dalam webinar Public Hearing Draf Rancangan Undang-Undang Pelaporan Keuangan (RUU PK), Kamis (3/12/2020).
Dari jumlah wajib pajak badan tersebut, lanjutnya, tercatat hanya 38.365 entitas bisnis yang sudah diaudit. Hal ini mengindikasikan regulasi yang mewajibkan audit laporan keuangan masih belum terlaksana dengan baik.
Kemudian, dari jumlah entitas bisnis yang sudah diaudit tersebut, hanya 2.002 entitas bisnis yang aktif melaporkan laporan keuangan tahunan perusahaan kepada Kementerian Perdagangan. Hal ini juga tidak terlepas dari minimnya penegakan hukum.
Oleh karena itu, lanjut Firmansyah, RUU PK diharapkan membuat seluruh entitas bisnis dapat menyampaikan laporan keuangan secara baik sehingga mampu mendukung kenaikan investasi dan pertumbuhan ekonomi.
Selain itu, pemerintah melalui RUU PK juga berharap kasus pelanggaran pelaporan keuangan yang marak terjadi dapat diminimalkan mengingat RUU PK nantinya akan mendorong penyusunan satu laporan keuangan untuk berbagai tujuan.
Selama ini, akibat kewajiban pelaporan keuangan yang diatur secara terpecah-pecah oleh masing-masing instansi membuat entitas bisnis mendapatkan ruang untuk menyusun lebih dari satu laporan keuangan untuk tujuan yang berbeda-beda.
Misal, laporan keuangan yang disampaikan kepada Ditjen Pajak dan perbankan. "Kalau di pajak, labanya sedikit. Kalau di bank, labanya banyak biar dapat kredit. Jadi dengan RUU ini didorong satu laporan untuk memenuhi berbagai tujuan," ujar Firmansyah.
Akibat perbedaan tersebut, Firmansyah mengaku PPPK kerap dimintai konfirmasi data dari DJP. Dari proses konfirmasi tersebut, ditemukan terdapat perbedaan antara laporan keuangan yang dilaporkan kepada DJP dan yang dimiliki oleh PPPK.
"Sejak kita kuliah kan secara konsep laporan keuangan itu memang cuma satu, tapi kenyataannya tidak demikian. Jadi dari RUU PK, kami ingin mencegah kasus pelanggaran pelaporan keuangan," tuturnya. (rig)