Ilustrasu. Refleksi kaca deretan gedung bertingkat di Jakarta, Senin (1/6/2020). ANTARA FOTO/Nova Wahyudi/wsj.
JAKARTA, DDTCNews – Pemerintah mengakui dominasi pajak penghasilan (PPh) badan menjadi salah satu faktor rentannya upaya pencapaian target penerimaan pajak.
Hal ini disampaikan pemerintah dalam Buku II Nota Keuangan Beserta Rancangan APBN Tahun Anggaran 2021. Pemerintah menyampaikan struktur penerimaan pajak Indonesia masih belum berimbang dan didominasi oleh penerimaan pajak yang dibayar oleh wajib pajak badan.
“Hal ini berdampak pada kerentanan terhadap penerimaan pajak, khususnya dalam kondisi keuangan korporasi berpotensi mengalami tekanan berat,” demikian pernyataan pemerintah dalam dokumen tersebut, dikutip pada Selasa (8/9/2020).
Pemerintah mengatakan proporsi penerimaan PPh badan nonmigas pada 2018 dan 2019 masing-masing mencapai 54,7% dan 52,2% terhadap total penerimaan PPh nonmigas. Adapun penerimaan PPh nonmigas pada 2018 dan 2019 mencapai 52,2% dan 53,5% terhadap total penerimaan pajak.
Dalam laporan APBN Kita, realisasi penerimaan PPh Pasal 25/29 badan pada periode Januari—Juli 2020 tercatat senilai Rp104,44 triliun atau terkontraksi 24,91%. Hal ini disebabkan oleh perlambatan profitabilitas tahun lalu dan pemberian insentif pajak.
Melihat belum berimbangnya struktur penerimaan pajak hingga sekarang, pemerintah melihat pentingnya untuk memprioritaskan penggalian potensi objek dan subjek pajak baru.
Selain dominasi PPh badan dalam penerimaan, pemerintah melihat perkembangan ekonomi digital secara nasional dan global juga menjadi sumber risiko penerimaan negara. Beberapa bentuk digital ekonomi adalah perdagangan secara elektronik (e-commerce) serta penggunaan uang elektronik (e-cash dan koin digital) secara anonim.
“Dari sudut pandang perpajakan, digitalisasi ekonomi dapat digolongkan shadow economy ataupun sektor yang sulit dipajaki (hard-to-tax sectors),” tulis pemerintah dalam dokumen tersebut. (kaw)