Ilustrasi. Suasana Plaza Selatan Monumen Nasional (Monas) tampak dari ketinggian di gedung Perpustakaan Nasional (Perpusnas), Jakarta, Rabu (5/8/2020). Pemerintah Provinsi DKI Jakarta masih menutup kawasan Monas guna mencegah penyebaran Covid-19. ANTARA FOTO/Aditya Pradana Putra/foc.
JAKARTA, DDTCNews – Kementerian Dalam Negeri mencatat realisasi pendapatan daerah secara nasional sepanjang semester I/2020 baru mencapai 48,18%.
Dirjen Bina Keuangan Daerah Mochamad Ardian Noervianto mengatakan pendapatan provinsi dan kabupaten/kota di Indonesia senilai total Rp536,3 triliun. Targetnya senilai Rp1.113 triliun. Menurutnya, realisasi yang kecil tersebut utamanya disebabkan oleh pandemi virus Corona.
"Permasalahan umum yang kita dapatkan menyangkut pendapatan pajak dan retribusi yang kurang optimal ini karena Covid," katanya melalui konferensi video, Rabu (12/8/2020).
Ardian mengatakan realisasi pendapatan 34 provinsi senilai Rp154,19 triliun atau 47,55% dari target Rp324,28 triliun. Adapun pada kabupaten/kota, realisasi penerimaannya senilai Rp382,11 triliun atau 48,44% dari target Rp788,77 triliun.
Menurutnya, persentase realisasi pendapatan provinsi di Indonesia rata-rata 47,55%, dengan 19 provinsi melampaui rata-rata dan 15 lainnya di bawah rata-rata. Provinsi dengan persentase realisasi pendapatan terbesar adalah DKI Jakarta sebesar 64,9%. Diikuti Sumatra Barat 60,85% dan DI Yogyakarta 58,53%.
Adapun provinsi dengan realisasi pendapatan terendah yakni Papua 22,18%, Papua Barat 24,81%, dan Aceh 29,98%.
Jika dilihat berdasarkan kabupaten/kota, rata-rata persentase pendapatannya sebesar 48,21%. Persentase pendapatan tertinggi terjadi di Kota Banjarmasin, yaitu sebesar 69,54%. Sementara yang terendah ada di Kabupaten Manokwari, yaitu hanya 9,02%.
Ardian menyebut setidaknya ada tiga penyebab pendapatan daerah pada semester I/2020 masih rendah. Pertama, pungutan terhadap potensi pajak dan retribusi kurang optimal karena adanya pandemi virus Corona.
Sektor-sektor jasa seperti hotel dan restoran yang biasanya menjadi andalan pendapatan daerah, sambung dia, mendadak sepi akibat pandemi. Akibatnya, pajak dan retribusi dari sektor-sektor jasa itu juga berkurang.
Kedua, pemerintah daerah terlalu tinggi mematok target pendapatan daerahnya tanpa memperhatikan potensi yang dimilikinya. Pemerintah daerah terlalu optimistis dalam membuat target pendapatan walaupun telah dikoreksi karena terjadi pandemi.
"Lalu hal lain juga dikarenakan terpukulnya APBN. Pendapatan daerah akan terdampak, baik DAU [dana alokasi umum], DAK [dana alokasi khusus], maupun DBH [dana bagi hasil]. Setidaknya, dana transfer pada APBD mau tidak mau akan terkoreksi," ujarnya.
Kemendagri pun meminta pemerintah daerah untuk segera melakukan berbagai strategi percepatan realisasi pendapatan daerah. Misalnya dengan intensifikasi dan ekstensifikasi sumber-sumber pendapatan dengan memperhatikan aspek legalitas, karakteristik daerah, dan kemampuan masyarakat. (kaw)