Kepala Laboratorium Perpajakan DIII Administrasi Perpajakan Universitas Sumatera Utara Hatta Ridho saat memaparkan materi dalam webinar series DDTC bertajuk “Spektrum Permasalahan dalam Pemungutan Pajak dan Retribusi Daerah di Sumatra Utara”.
JAKARTA, DDTCNews – Pemungutan pajak daerah di Provinsi Sumatra Utara masih menemui beberapa permasalahan meskipun realisasi penerimaannya mencapai 100,09% dari target pada 2018.
Hal tersebut dipaparkan Kepala Laboratorium Perpajakan DIII Administrasi Perpajakan Universitas Sumatera Utara Hatta Ridho dalam webinar series DDTC bertajuk “Spektrum Permasalahan dalam Pemungutan Pajak dan Retribusi Daerah di Sumatra Utara”. Menurutnya, Sumatra Utara memiliki potensi pajak yang tinggi, tetapi target penerimaan dan realisasinya masih fluktuatif.
“Sumatra Utara merupakan provinsi dengan penduduk terbesar keempat di Indonesia. Produk domestik regional bruto (PDRB) per kapitanya juga di atas provinsi lain. Tax ratio-nya pun tertinggi ketiga, Namun, pemerintah belum berani menetapkan target yang tinggi,” ungkap Hatta, Senin (10/8/2020)
Kinerja penerimaan pajak daerah periode 2013—2018, sambungnya, memang terlihat adanya peningkatan. Namun, peningkatan penerimaan tersebut sangat fluktuatif. Dia menilai terdapat permasalahan terkait dengan penetapan target.
Hatta menjabarkan untuk pajak daerah tingkat provinsi, pajak kendaraan bermotor (PKB), dan bea balik nama kendaraan bermotor (BBNKB) terealisasi 118,34% dari target. Namun, dia berujar potensi PKB dan BBNKB seharusnya lebih besar mengingat hingga kuartal IV/2018 tunggakannya masih tinggi.
Sementara itu, pajak air permukaan hanya terealisasi 7,64% dari target dan sangat timpang dengan penerimaan pajak sektor lain. Dia menyebut ketimpangan penerimaan tersebut karena masih adanya sengketa dalam pemungutan pajak air permukaan.
Pada intinya, dari sisi pajak provinsi, lingkup permasalahannya ada pada penegakan hukum pajak yang masih lemah. Selain itu, pemeriksaan dan penagihan pajak juga belum dilakukan secara kontinu dan konsisten.
Dari sisi pajak daerah di tingkat kabupaten/kota, Hatta menjadikan Kota Medan sebagai contoh untuk menjabarkan permasalahan yang ada. Secara garis besar terdapat permasalahan yang terjadi. Pertama, hukum formal PDRD masih belum komprehensif.
Kedua, PMK 207/2018 ttg pedoman penagihan dan pemeriksaan pajak daerah belum efektif dan konsisten diterapkan. Ketiga, juru sita pajak dan penilai pajak daerah belum ada. Keempat, saat pengalihan PBB-P2 masih tersisa piutang senilai Rp1,5 triliun yang belum tertagih sepenuhnya.
Kelima, organisasi perangkat daerah (OPD) penegak peraturan daerah masih kurang pelatihan dan sosialisasi. Keenam, kultur primordial yang membuat keringanan mudah diberikan. Ketujuh, kepatuhan wajib daerah melakukan pembukuan masih rendah terutama untuk pajak restoran, hotel, dan parkir.
Hatta memerinci contoh permasalah misalnya adanya tunggakan pajak restoran dan adanya larangan memungut pajak air tanah di kawasan industri medan. Atas permasalahan-permasalahan tersebut, Hatta membabarkan enam solusi.
Pertama, reformasi birokrasi OPD utamanya pada kultur aparatur, tata laksana, SDM, pengawasan, akuntabilitas dan tertib regulasi, Kedua, koordinasi antarlembaga dalam penegakan hukum pajak. Ketiga, modernisasi perangkat pemungutan PDRD misalnya, tapping box sudah dimulai pada 2018.
Keempat, mapping dan profiling potensi pajak daerah. Kelima, validasi data nomor pokok wajib pajak daerah (NPWPD). Keenam, penguatan aspek hukum formal misalnya yang dilakukan melalui omnibus law.
“Terkait dengan omnibus law, itu benar-benar harus melibatkan stakeholder, seperti peneliti dan praktisi, supaya tidak salah untuk membuat hukum formal,” pungkas Hatta.
Saat memberikan pidato pembuka (opening speech) dalam webinar tersebut, Partner of Tax Research & Training Services DDTC B Bawono Kristiaji mengatakan umumnya penetapan target penerimaan pajak daerah dalam APBD lebih fluktuatif (volatile) dibandingkan dengan penerimaan pajak pemerintah pusat yang selalu mengalami kenaikan tiap tahunnya.
“Persoalan pertama pungutan pajak dan retribusi daerah itu bagaimana targeting-nya. Kalau daerah itu bisa tahun ini turun, tahun depan naik. Nah, ini memang perlu dilihat cara optimalisasinya. Dari sisi penegakan hukum dan terobosan kebijakan juga perlu dilakukan untuk mencapai target,” katanya.
Sebagai informasi, webinar ini merupakan seri kedelapan dari 14 webinar yang diselenggarakan untuk menyambut HUT ke-13 DDTC yang akan jatuh pada 20 Agustus mendatang. Webinar series ini diselenggarakan bersama 15 perguruan tinggi dari 26 perguruan tinggi yang telah menandatangani kerja sama pendidikan dengan DDTC.
Bagi Anda yang tertarik untuk mengikuti webinar seri selanjutnya, informasi dan pendaftaran bisa dilihat dalam artikel ‘Sambut HUT ke-13, DDTC Gelar Free Webinar Series 14 Hari! Tertarik?’. (kaw)