Ketua Umum Atpetsi Darussalam saat menyampaikan keynote speech dalam webinar bertajuk “Peran Tax Center Sebagai Mitra DJP: Upaya Meningkatkan Peran Pajak dalam Pembangunan Masa Depan”.
MEDAN, DDTCNews – Riset bersama berbasis kewilayahan akan menjadi salah satu agenda penting yang akan dilakukan Asosiasi Tax Center Perguruan Tinggi Seluruh Indonesia (Atpetsi) bersama Ditjen Pajak (DJP).
Hal tersebut disampaikan Ketua Umum Atpetsi Darussalam dalam webinar bertajuk “Peran Tax Center Sebagai Mitra DJP: Upaya Meningkatkan Peran Pajak dalam Pembangunan Masa Depan”. Dengan riset itu, akan didapatkan peta potensi ekonomi, pajak, dan perilaku wajib pajak di tiap daerah.
“Sehingga kita berharap target-target yang dibebankan untuk masing-masing kanwil DJP itu bisa lebih realistis dengan potensi ekonominya, potensi pajaknya, dan perilaku wajib pajaknya seperti apa,” ujar Darussalam, Selasa (4/8/2020).
Dengan demikian, pendekatan riset atau kajian tidak akan dilakukan secara nasional. Hal ini sejalan dengan strategi otoritas pajak saat ini yang ingin mengoptimalkan pendekatan dan pengawasan berbasis kewilayahan.
Agenda riset bersama berbasis kewilayahan ini sudah direncanakan sejak ditandatanganinya kesepakatan bersama terkait dengan pembinaan dan pengembangan tax center di seluruh Indonesia. Simak artikel ‘Tingkatkan Peran Tax Center, DJP dan Atpetsi Teken Kesepakatan Bersama’.
Selain riset bersama berbasis kewilayahan, ada tiga agenda penting lain yang dicakup dalam kesepakatan bersama. Pertama, sosialisasi dan inklusi pajak. Terkait dengan hal ini, Atpetsi bersama DJP akan menyusun kurikulum pajak dari level pendidikan dasar dan sosialisasi perpajakan.
“Untuk saat ini, sosialisasi terutama terkait dengan kebijakan insentif pajak karena serapannya sejauh ini masih belum optimal,” imbuh Darussalam.
Kedua, pelatihan pajak bagi stakeholder yang berkepentingan di bidang pajak. Menurutnya, kampus memiliki kapasitas terkait dengan pelatihan pajak. Ketiga, revitalisasi kurikulum pajak. Bagaimanapun, kinerja pajak tidak lepas dari sumber daya manusianya.
Menurut Darussalam, ada sejumlah aspek yang perlu dibenahi terkait dengan kurikulum pajak, mulai dari implementasi kurikulum berbasis komparasi, pembelajaran dari kasus, dan pemahaman pajak merupakan multidisplin ilmu.
“Dalam perkembangan terakhir, pajak itu dikaitkan dengan teknologi informasi. Jadi, ada perpaduan ilmu pajak dan ilmu teknologi sehingga ada profesi baru yang dikenal sebagai taxologist. Ini menarik. Kurikulum perlu direvitalisasi,” jelasnya.
Berbagai agenda tersebut, lanjut Darussalam, menjadi upaya untuk memperluas peran tax center. Sebagai pihak ketiga, tax center perlu dapat mengoptimalkan perannya sebagai jembatan antara otoritas pajak dengan wajib pajak.
Bagaimanapun, peran pihak ketiga menjadi krusial karena ada keinginan dari pemerintah dari sisi penerimaan negara. Di sisi lain, wajib pajak masih menganggap pajak sebagai beban biaya atau ongkos yang harus dikeluarkan.
Dalam kesempatan itu, Darussalam mengutip pernyataan Vito Tanzi dalam buku “The Ecology of Tax Systems: Factors That Shape the Demand and Supply of Taxes.” Vito mengatakan Keberhasilan maupun kegagalan sistem pajak ditentukan oleh tarik-menarik kepentingan antara stakeholders dalam mendesain sistem pajak yang tepat bagi solusi permasalahan ekonomi masing-masing negara.
“Oleh karena itu, perlunya pihak ketiga yang bisa diterima semua pihak sebagai jembatan antara kepentingan stakeholders,” imbuh Darussalam.
Jika hubungan antara otoritas pajak dan wajib pajak berjalan lancar, beberapa tolak ukur kinerja pajak seperti tax ratio, effort pajak, tax gap, dan tax buoyancy Indonesia bisa lebih baik.
Sebagai informasi, webinar ini terselenggara atas hasil kerja sama Kanwil DJP Sumut I dan II serta Asosiasi Tax Center Perguruan Tinggi Seluruh Indonesia (Atpetsi) DPD Sumut. Simak pula artikel ‘Jadi Mitra Strategis DJP, Tax Center Perlu Perbanyak Kajian Perpajakan’. (kaw)