KEBIJAKAN FISKAL

Pemulihan Penerimaan Pajak Tak Secepat Perekonomian, Ini Sebabnya

Muhamad Wildan
Jumat, 24 Juli 2020 | 12.10 WIB
Pemulihan Penerimaan Pajak Tak Secepat Perekonomian, Ini Sebabnya

Partner of Tax Research and Training Services DDTC B. Bawono Kristiaji saat memberikan pemaparan materi dalam webinar “Strategi Penerimaan Perpajakan di Masa Pemulihan”, Jumat (24/7/2020). 

JAKARTA, DDTCNews – Pascakrisis, pemulihan penerimaan pajak cenderung tidak secepat perbaikan perekonomian.

Partner of Tax Research and Training Services DDTC B. Bawono Kristiaji mengatakan fenomena ini telah terlihat saat pascakrisis finansial 1998 dan krisis ekonomi global 2008 silam. Pasalnya, dalam fase pemulihan ekonomi, otoritas pajak secara global berlomba-lomba memberikan insentif pajak.

“Tampak bahwa setelah krisis muncul suatu periode pascakrisis, di mana negara-negara berlomba-lomba untuk mereformasi administrasi pajak dan melakukan kompetisi pajak,” ujarnya dalam webinar “Strategi Penerimaan Perpajakan di Masa Pemulihan”, Jumat (24/7/2020).

Untuk memecahkan masalah ini,di tengah adanya pandemi Covid-19, Bawono mengusulkan strategi jangka menengah berupa pengurangan tax gap serta perluasan basis pajak yang dilakukan tanpa mendistorsi ekonomi terlalu besar.

Tidak hanya itu, fasilitas pajak juga perlu tetap disalurkan dengan lebih tepat sasaran. Pemberian fasilitas pajak itu, sambung dia, juga diusahakan dalam bentuk yang berbeda karena tergantung pada fase pemulihan ekonomi.

"Di Indonesia ini ada tax gap sekitar 40% sampai 60% tergantung jenis pajaknya. Sangat penting bagaimana kita menutup tax gap dengan mengoptimalkan potensi penerimaan perpajakan baik dari sisi kebijakan maupun compliance," imbuh Bawono.

Adapun beberapa usulan kebijakan yang disampaikan oleh Bawono untuk menyongsong fase pemulihan ke depan. Salah satu usulan tersebut adalah pelaksanaan evaluasi kepatuhan pajak pada periode pascakrisis.

Peningkatan kepatuhan pajak dari wajib pajak yang tergolong high net worth individual (HNWI) dan UMKM juga perlu dilakukan. Selain itu, perlu ada kerjasama dengan penyelenggara platform digital dengan mewajibkan mereka untuk merekapitulasi data transaksi dan melaporkannya kepada DJP.

Policy gap dari kebijakan perpajakan Indonesia juga perlu dipertimbangkan untuk dievaluasi, seperti peninjauan skema PPh final bagi sektor konstruksi, pengurangan threshold pengusaha kena pajak (PKP), dan pengurangan fasilitas pajak pertambahan nilai (PPN).

Untuk mengatasi pemungutan PPh orang pribadi yang masih belum optimal dari tahun ke tahun, pemerintah juga perlu mempertimbangkan pengenaan pajak yang berbasis aset atau kekayaan. Jenis pajak ini mampu meningkatkan penerimaan pajak tanpa menciptakan dampak distorsi yang tinggi bagi perekonomian.

Kepala Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kementerian Keuangan Febrio Kacaribu mengatakan tax ratio memang belum akan pulih dalam waktu dekat. Tax ratio, sambungnya, akan berada di level 9% selama tiga tahun. Peningkatan tax ratio menjadi di atas 9% kemungkinan baru terjadi pada 2024.

Indonesia juga menghadapi persaingan dengan negara-negara lain yang sangat agresif memberikan fasilitas perpajakan bagi investor. Oleh karenanya, Indonesia pun memutuskan untuk menurunkan tarif PPh badan dari 25% menjadi 22% mulai tahun ini dan akan menjadi 20% mulai 2022.

"Logika omnibus law adalah untuk bersaing dengan negara lain dan kita tentu harus sedikit berkorban. Lebih penting mana pertumbuhan ekonomi dengan pertumbuhan pajak? Tentu perekonomian. Namun, porsinya akan kami letakkan secara benar dan tepat," ujar Febrio. (kaw)

Cek berita dan artikel yang lain di Google News.
Bagikan:
user-comment-photo-profile
Belum ada komentar.