BERITA PAJAK HARI INI

Hati-Hati Mendesain Insentif Pajak untuk Mitigasi Efek Virus Corona

Redaksi DDTCNews
Jumat, 06 Maret 2020 | 07.56 WIB
Hati-Hati Mendesain Insentif Pajak untuk Mitigasi Efek Virus Corona

Ilustrasi gedung Kemenkeu. 

JAKARTA, DDTCNews – Sejumlah relaksasi kebijakan pajak tengah dimatangkan oleh Kementerian Keuangan untuk memberikan stimulus pada perekonomian di tengah tekanan karena efek wabah virus Corona. Hal tersebut menjadi bahasan sejumlah media nasional pada hari ini, Jumat (6/3/2020).

Belum ada kepastian relaksasi kebijakan pajak apa saja yang ingin diberikan pemerintah. Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengatakan bisa saja memberi skema penundaan pembayaran PPh 21. Ada pula Selain itu, perubahan komponen biaya jabatan dalam PPh 21 juga dipertimbangkan.

Selain itu, terkait dengan pengamanan pasokan bahan baku impor, otoritas juga melihat kemungkinan relaksasi yang menyasar PPh 22. Fasilitas terkait restitusi juga akan dikaji oleh otoritas fiskal untuk membantu dari sisi pelaku usaha.

“Kami mempertimbangkan semua. PPh 21, 22, bahkan 25 kami akan lihat semua, termasuk restitusi PPN dipercepat. Kami sekarang sedang menghitung secara keseluruhan,” ujar Sri Mulyani.

Selain itu, ada pula bahasan mengenai beleid baru yang berisi tata cara penyelesaian permintaan nomor seri faktur pajak (NSFP). Beleid baru tersebut adalah Surat Edaran Dirjen Pajak No. SE-08/PJ/2020. Munculnya SE itu secara otomatis mencabut Lampiran VIII Surat Edaran Dirjen Pajak No.SE-20/PJ/2014.

Berikut ulasan berita selengkapnya.

  • Membantu Korporasi dan Masyarakat

Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengaku hingga saat ini masih menghitung dan akan memaparkan rancangan skema relaksasi kebijakan pajak di hadapan Presiden Jokowi. Semua relaksasi dilakukan untuk membantu dari sisi korporasi maupun masyarakat di tengah tekanan ekonomi sebagai akibat wabah virus Corona.

“Kami sedang hitung dan akan kami sampaikan ke Presiden. Pada intinya, bagaimana kami bisa membantu dari sisi korporasi maupun masyarakat,” ujarnya. (Kontan/Bisnis Indonesia)

  • Didesain secara Hati-Hati

Managing Partner DDTC Darussalam menilai pajak memang menjadi salah satu instrumen yang efektif untuk menjaga kestabilan ekonomi di tengah tekanan. Namun, sejumlah relaksasi atau insentif seharusnya dapat didesain secara hati-hati agar tidak menekan balik dari sisi anggaran negara.

Terkait wacana relaksasi PPh 21, dia menilai skema penundaan pembayaran lebih baik dibandingkan pembebasan. Selain itu, pemerintah juga perlu menetapkan kriteria perusahaan yang bisa mendapatkannya. Apalagi, PPh karyawan menyumbang sekitar 10%-12% dari total penerimaan pajak.

“Jadi, saat ini lebih untuk mengurangi kesulitan cash flow perusahaan. Sebab persoalannya lebih pada penurunan daya beli dan permintaan agregat,” katanya. (Kontan)

  • Sektor Kesehatan

Partner DDTC Fiscal Research B. Bawono Kristiaji mengatakan insentif yang disiapkan pemerintah sebaiknya juga mengutamakan sektor kesehatan, yaitu industri farmasi dan alat kesehatan. Hingga saat ini, belum terlihat adanya insentif yang mengarah ke sektor itu.

“Padahal, keduanya harus didukung agar pasokan barang penunjang kesehatan terjamin. Bisa juga insentif untuk pekerja di sektor kesehatan,” ujarnya. (Kontan)

  • Pemintaan NSFP Jumlah Tertentu

Tata cara penyelesaian permintaan nomor seri faktur pajak (NSFP) sebenarnya sudah dijelaskan dalam Lampiran VIII Surat Edaran Dirjen Pajak No.SE-20/PJ/2014. Namun, ada kebutuhan penyelesaian permintaan NSFP oleh pengusaha kena pajak (PKP) dengan jumlah tertentu yang melebihi batasan pemberian NSFP yang telah ditentukan dan belum diakomodasi dalam SE tersebut.

Oleh karena itu, perlu dirumuskan tata cara penyelesaian permintaan NSFP untuk wajib pajak (WP) yang baru dikukuhkan sebagai PKP, PKP yang telah melakukan pemusatan tempat PPN terutang, dan/atau PKP yang mengalami peningkatan usaha.

“Yang karena kegiatan usahanya membutuhkan NSFP dengan jumlah tertentu,” demikian bunyi penggalan bagian umum dalam beleid yang ditetapkan dan mulai berlaku pada 27 Februari 2020 ini. Beleid ini mencabut lampiran VIII Surat Edaran Dirjen Pajak No.SE-20/PJ/2014. (DDTCNews)

  • Bukan Karyawan

Dirjen Pajak Suryo Utomo menyakini upaya ekstensifikasi melalui pengawasan berbasis kewilayahan akan mampu membuahkan hasil postif. Perluasan basis pajak wajib dilakukan untuk menjamin kesinambungan penerimaan di tengah derasnya pemberian insentif.  Adapun sasaran utama dari kegiatan ekstensifikasi adalah wajib pajak nonkaryawan.

“Sehingga sekarang kita cari yang nonkaryawan. Ini karena untuk pegawai sudah maksimum pembayaran dengan dipotong pajaknya dari penghasilan. Tugas kami cari yang bukan karyawan yang secara penuh menjalankan self assessment,” jelas Suryo. (DDTCNews)

  • Rencana Penghapusan Pajak Hotel dan Restoran

Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menyebut persiapan penghapusan pajak hotel dan restoran untuk 10 destinasi pariwisata sedang dikoordinasikan oleh Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) dengan pemerintah daerah (pemda).

Sri Mulyani mengatakan kebijakan penghapusan pajak hotel dan restoran itu akan berlaku secepatnya untuk menekan dampak virus Corona pada sektor pariwisata. Dia berharap kebijakan itu akan menjadikan tarif hotel dan restoran lebih murah, sehingga menarik untuk wisatawan.

"[Koordinasi] sudah dilakukan sekarang. Kita tetap lakukan. Jadi, persiapan untuk pajak hotel dan restoran kita sekarang dengan Kemendagri dan pemda," ungkapnya. (DDTCNews) (kaw)

Cek berita dan artikel yang lain di Google News.
Bagikan:
user-comment-photo-profile
Belum ada komentar.