Ilustrasi.
JAKARTA, DDTCNews – Redefinisi bentuk usaha tetap (BUT) disebut-sebut akan masuk dalam rancangan omnibus law perpajakan. Pasalnya, dengan definisi BUT yang berlaku saat ini, otoritas tidak bisa memajaki perusahaan digital yang tidak memiliki kehadiran fisik di Indonesia.
Definisi BUT atau yang sering disebut permanent establishment (PE) ini juga menjadi bahasan yang sangat intens di tingkat global. Hal tersebut menjadi aspek yang penting dalam upaya pencapaian konsensus global terkait pemajakan ekonomi digital di bawah koordinasi OECD. Baca pula Perspektif ‘Bentuk Usaha Tetap (BUT)’.
Selama ini, otoritas selalu mengatakan BUT saat ini masih mengacu pada kehadiran fisik (physical presence). Terlepas jadi atau tidaknya pemerintah untuk memasukkan redefinisi BUT dalam omnibus law perpajakan, bagaimana sebenarnya definisi BUT yang berlaku di Indonesia saat ini?
Sesuai Undang-Undang (UU) Pajak Penghasilan (PPh), BUT merupakan subjek pajak yang perlakuan perpajakannya dipersamakan dengan subjek pajak badan. Nah, sesuai pasal 2 ayat (5), BUT adalah bentuk usaha yang dipergunakan oleh:
untuk menjalankan usaha atau melakukan kegiatan di Indonesia.
Adapun kegiatan yang dilakukan di Indonesia dapat berupa:
Selanjutnya, dalam penjelasan pasal 2 ayat (5) UU PPh disebutkan suatu BUT mengandung pengertian adanya suatu tempat usaha (place of business), yaitu fasilitas yang dapat berupa tanah dan gedung termasuk juga mesin-mesin, peralatan, gudang dan komputer atau agen elektronik atau peralatan otomatis (automated equipment) yang dimiliki, disewa, atau digunakan oleh penyelenggara transaksi elektronik untuk menkalankan aktivitas usaha melalui internet.
Tempat usaha tersebut bersifat permanen dan digunakan untuk menjalankan usaha atau melakukan kegiatan dari orang pribadi yang tidak bertempat tinggal atau badan yang tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia.
Pengertian BUT mencakup pula orang pribadi atau badan selaku agen yang kedudukannya tidak bebas, yang bertindak untuk dan atas nama orang pribadi atau badan yang tidak bertempat tinggal atau tidak bertempat kedudukan di Indonesia.
Orang pribadi yang tidak bertempat tinggal atau badan yang tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia tidak dapat dianggap mempunyai BUT di Indonesia apabila mereka menjalankan usaha atau kegiatan di Indonesia menggunakan agen, broker, atau perantara yang mempunyai kedudukan bebas.
“Asalkan agen atau perantara tersebut dalam kenyataannya bertindak sepenuhnya dalam rangka menjalankan perusahaan sendiri,” demikian penggalan penjelasan dalam pasal 2 ayat (5).
Perusahaan asuransi yang didirikan dan bertempat kedudukan di luar Indonesia dianggap mempunyai BUT di Indonesia apabila perusahaan asuransi tersebut menerima pembayaran premi asuransi atau menanggung risiko di Indonesia melalui pegawai, perwakilan, atau agennya di Indonesia. (kaw)