PERKEMBANGAN ekonomi digital telah mengubah lanskap bisnis global secara fundamental. Munculnya platform digital, e-commerce lintas negara, dan pertumbuhan nilai aset tak berwujud membawa tantangan baru bagi sistem perpajakan internasional.
Buku P3B Edisi Kedua DDTC menyoroti perlunya reformasi kebijakan pajak untuk menjaga keadilan serta efektivitas pemajakan di era digitalisasi ini. Ekonomi digital ditandai dengan ketergantungan tinggi terhadap teknologi informasi dan aset tak berwujud.
Model bisnis baru yang berbasis platform, data, dan algoritma memungkinkan perusahaan beroperasi lintas negara tanpa kehadiran fisik. Akibatnya, model perpajakan tradisional yang mengandalkan keberadaan fisik menjadi kurang relevan.
Setidaknya, ada tiga tantangan utama pajak dalam ekonomi digital. Pertama, keterhubungan (nexus). Maraknya perusahaan digital memperoleh penghasilan dari suatu negara tanpa kehadiran fisik, menyulitkan penerapan konsep nexus dalam pajak internasional.
Kedua, peran data dalam value creation. Salah satunya dalam bentuk data pengguna. Data pengguna berperan penting dalam menciptakan nilai ekonomi. Namun, atribusi nilai atas data yang diperoleh lintas negara menimbulkan tantangan besar dalam sistem pajak saat ini.
Ketiga, karakterisasi penghasilan digital. Pendapatan dari layanan digital seperti cloud computing menimbulkan perdebatan tentang klasifikasi penghasilan untuk keperluan pajak, apakah sebagai royalti, jasa, atau kategori lain.
Dalam merespons tantangan tersebut, OECD melalui Proyek Anti-BEPS Aksi 1 dan Aksi 7 berupaya mengidentifikasi masalah serta menawarkan solusi. Salah satu inisiatif utama adalah Two-Pillar Solution yang meliputi:
Meski begitu, terdapat kritik bahwa solusi tersebut belum sepenuhnya mengakomodasi kepentingan negara berkembang.
Sebagai alternatif, Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) memperkenalkan Pasal 12B dalam UN Model yang memungkinkan negara sumber mengenakan pajak atas pendapatan dari layanan digital otomatis (Automated Digital Services/ADS) berdasarkan penghasilan bruto. Pendekatan ini dinilai lebih sederhana dan menguntungkan bagi negara berkembang.
Digitalisasi ekonomi menuntut sistem pajak internasional yang adaptif dan inklusif. Kolaborasi global menjadi kunci untuk menghindari duplikasi pemajakan dan memastikan keadilan dalam pembagian hak pemajakan.
Buku P3B Edisi Kedua DDTC menegaskan bahwa solusi konsensus harus mampu mengakomodasi beragam kepentingan yurisdiksi, termasuk negara berkembang, demi menciptakan rezim pajak internasional yang lebih berkeadilan di era digital.
Buku tersebut juga menjabarkan Pilar 1 dan Pilar 2 yang berupaya mengatasi tantangan pajak dari digitalisasi ekonomi. (rig)
Ingin selalu terdepan dengan kabar perpajakan terkini?
Ikuti DDTCNews WhatsApp Channel dan dapatkan berita pilihan langsung di genggaman Anda.
Ikuti sekarang! Klik tautan: link.ddtc.co.id/WACDDTCNews