Ilustrasi.
INDUSTRI bioskop merupakan bagian dari dunia hiburan yang terus berkembang di Indonesia. Di balik layar lebar yang masyarakat nikmati, terdapat berbagai aktivitas usaha yang melibatkan banyak pihak. Mulai dari pengusaha bioskop, pegawai, hingga pihak luar negeri yang bertransaksi dengan perusahaan bioskop, seperti dalam hal terdapat impor film.
Seiring dengan kompleksitas bisnis bioskop, muncul pula berbagai kewajiban perpajakan yang perlu diperhatikan secara cermat. Salah satunya adalah perlakuan PPh Pasal 22 atas impor film cerita.
Berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan PMK 102/2011, penyerahan film cerita impor kepada pengusaha bioskop oleh importir dikenai PPh Pasal 22. Dasar pengenaan pajaknya adalah nilai impor, yaitu total cost, insurance, freight (CIF), ditambah bea masuk dan pungutan lainnya.
Lebih lanjut, berdasarkan PMK 26/2022, film cerita impor yang masuk ke Indonesia dikelompokkan dalam H.S Code 37.06, yaitu untuk film sinematografi yang telah disinari dan dicuci, baik yang mengandung trek suara maupun tidak, atau bahkan hanya terdiri dari trek suara saja.
Secara umum, film dalam kategori ini dikenai bea masuk sebesar 10%. Namun, untuk jenis cerita film tertentu, pembebanan bea masuk dapat dihitung berdasarkan durasi waktu film sehingga tarifnya dapat bervariasi tergantung durasi film yang diimpor.
Selanjutnya, mengacu pada PMK 81/2024, impor film cerita oleh pengusaha bioskop termasuk dalam kategori impor barang tertentu yang dikenai PPh Pasal 22 sebesar 10%.
Di sisi lain, pengusaha bioskop juga perlu memahami perlakuan pajak atas pembayaran royalti kepada pemilik hak cipta film. Berdasarkan PER-33/PJ/2009, penghasilan dari pemanfaatan karya sinematografi yang melalui perjanjian penggunaan hasil karya dengan sistem bagi hasil antara pemegang hak cipta dan pengusaha bioskop termasuk dalam kategori royalti.
Dasar pengenaan pajak atas penghasilan royalti ialah 10% dari nilai bagi hasil. Sesuai UU Pajak Penghasilan (UU PPh), jika royalti dibayarkan kepada produser di dalam negeri maka dikenai PPh Pasal 23 dengan tarif 15%.
Namun, apabila dibayarkan kepada produser luar negeri maka pengusaha bioskop wajib memotong PPh Pasal 26 dengan tarif 20%.
Lebih lanjut, pengusaha bioskop juga perlu memperhatikan sejumlah kewajiban perpajakan lainnya yang tak kalah penting. Misal, kewajiban pemotongan PPh Pasal 23 atau Pasal 26 atas pembayaran royalti, pengenaan PPh Final Pasal 4 ayat (2) atas sewa tanah dan/atau bangunan yang digunakan untuk operasional bioskop, serta PPh badan atas laba perusahaan.
Selain itu, terdapat pula kewajiban pemungutan PPN atas penyerahan film cerita impor dan pengenaan pajak daerah, yaitu Pajak Barang dan Jasa Tertentu (PBJT), yang juga dapat berlaku dalam kegiatan usaha bioskop.
Melihat banyaknya ketentuan perpajakan yang melekat dalam operasional perusahaan bioskop, penting bagi para pelaku usaha dan pihak terkait untuk memahami secara menyeluruh aspek-aspek perpajakan tersebut agar dapat menjalankan kewajiban pajaknya dengan benar.
Untuk membantu memahami seluruh aspek perpajakan tersebut secara lebih komprehensif, DDTC telah merilis Panduan Pajak Perusahaan Bioskop.
Panduan ini mencakup dasar hukum perpajakan perusahaan bioskop, definisi perusahaan perfilman, karakteristik film cerita impor, aspek perpajakan perusahaan bioskop, hingga ilustrasi kasus untuk mempermudah pemahaman. (rig)