LITERATUR PAJAK

Pahami Perbedaan Non-Objek Pajak dengan Pajak Terutang Tidak Dipungut

Redaksi DDTCNews
Selasa, 04 Maret 2025 | 10.00 WIB
Pahami Perbedaan Non-Objek Pajak dengan Pajak Terutang Tidak Dipungut

Ilustrasi.

JAKARTA, DDTCNews – PPN merupakan instrumen pajak yang memiliki peran penting dalam penerimaan negara. Namun, dalam penerapannya, terdapat kondisi transaksi tidak dikenai PPN karena masuk dalam kategori non-objek pajak atau pajak terutang yang tidak dipungut.

Kedua kondisi tersebut memiliki perbedaan yang mendasar, baik dari sisi definisi, regulasi, maupun implikasinya terhadap bagi wajib pajak.

Secara konseptual, non-objek pajak merujuk pada transaksi yang memang tidak masuk dalam ruang lingkup pengenaan PPN sejak awal. Artinya, transaksi ini tidak memenuhi kriteria sebagai objek PPN sebagaimana diatur dalam Undang-Undang PPN.

Contoh, penyerahan barang yang bukan termasuk Barang Kena Pajak (BKP) atau jasa yang bukan termasuk Jasa Kena Pajak (JKP).

Sementara itu, pajak terutang yang tidak dipungut terjadi ketika suatu transaksi sebenarnya masuk dalam ruang lingkup pengenaan PPN, tetapi pemerintah memberikan fasilitas pajak tertentu yang menyebabkan PPN yang seharusnya terutang menjadi tidak dipungut.

Hal tersebut umumnya dilakukan untuk memberikan insentif atau meringankan beban pajak dalam sektor-sektor tertentu.

Perbedaan utama antara kedua konsep tersebut juga tecermin dalam regulasi yang mengaturnya. Non objek pajak dapat merujuk pada ketentuan dalam Pasal 4A UU PPN yang mengatur jenis barang dan jasa yang dikecualikan dari pengenaan PPN.

Sementara itu, pajak terutang tidak dipungut biasanya diatur melalui peraturan pemerintah (PP) atau peraturan menteri keuangan (PMK) yang memberikan fasilitas perpajakan, seperti pembebasan atau penundaan pemungutan PPN dalam situasi tertentu.

Contoh, PMK 81/2024 mengatur lebih lanjut tentang mekanisme administrasi dalam penerapan pajak terutang yang tidak dipungut, termasuk tata cara restitusi apabila terjadi pemungutan PPN yang seharusnya tidak dilakukan.

Dalam kasus non-objek pajak, transaksi tersebut tidak perlu dilaporkan dalam Surat Pemberitahuan (SPT) Masa PPN karena tidak memiliki kewajiban pemungutan sejak awal.

Sebaliknya, untuk pajak terutang yang tidak dipungut, pihak yang bertransaksi tetap memiliki kewajiban administrasi, seperti menyampaikan laporan realisasi pemanfaatan fasilitas pajak kepada otoritas pajak atau menggunakan dokumen tertentu, seperti faktur pajak khusus yang mencantumkan keterangan bahwa PPN tidak dipungut berdasarkan regulasi yang berlaku.

Apabila terjadi kekeliruan dalam pemungutan PPN yang seharusnya tidak dipungut, wajib pajak dapat mengajukan restitusi sesuai dengan ketentuan dalam PMK 81/2024. Namun, restitusi hanya dapat dilakukan apabila memenuhi syarat administratif dan substansial.

Pemahaman yang jelas tentang perbedaan non-objek pajak dan pajak terutang yang tidak dipungut sangat penting bagi wajib pajak untuk terhindar dari kesalahan pelaporan PPN, mengoptimalkan manfaat fasilitas perpajakan, dan mencegah risiko pemeriksaan pajak akibat penerapan yang keliru.

Oleh karena itu, penting bagi wajib pajak untuk memahami regulasi yang berlaku dan memastikan kepatuhan dalam penerapannya. Dengan demikian, pemanfaatan fasilitas pajak dapat dilakukan secara optimal tanpa melanggar ketentuan yang berlaku.

Untuk mengetahui lebih lanjut tentang PPN dan berbagai aspek teknisnya, Anda dapat mendapatkan informasinya secara lengkap dalam buku Buku Konsep dan Studi Komparasi Pajak Pertambahan Nilai Edisi Kedua DDTC. (rig)

Cek berita dan artikel yang lain di Google News.
Bagikan:
user-comment-photo-profile
Belum ada komentar.