BERITA PAJAK HARI INI

Tersisa 1% NPWP Belum Padan dengan NIK, DJP Instruksikan Ini ke WP

Redaksi DDTCNews
Senin, 14 Oktober 2024 | 08.37 WIB
Tersisa 1% NPWP Belum Padan dengan NIK, DJP Instruksikan Ini ke WP

Ilustrasi.

JAKARTA, DDTCNews - Hingga pekan kedua Oktober 2024, sudah 75 juta nomor induk kependudukan (NIK) yang padan dengan nomor pokok wajib pajak (NPWP). Namun, itu belum semuanya. Topik tersebut menjadi salah satu bahasan media nasional pada hari ini, Senin (14/10/2024). 

Progres pemadanan NIK-NPWP sudah mencakup 99% dari jumlah wajib pajak orang pribadi. Artinya, masih tersisa 1% wajib pajak orang pribadi yang perlu memadankan NPWP-nya dengan NIK. Menyadari waktu pemadanan NIK-NPWP tersisa 2 bulan saja, Ditjen Pajak (DJP) memberikan imbauan kembali kepada wajib pajak agar segera melakukan pemadanan NIK-NPWP. 

"Sudahkah #KawanPajak melakukan pemadanan data? Jika belum, lakukan melalui pajak.go.id dan pastikan data NIK-NPWP sudah sesuai!" bunyi keterangan foto yang diunggah akun Instagram DJP.

DJP menjelaskan pemadanan NIK sebagai NPWP merupakan wujud komitmen pemerintah dalam mewujudkan satu data Indonesia. Melalui pemadanan NIK sebagai NPWP, administrasi perpajakan menjadi lebih mudah bagi seluruh wajib pajak.

Wajib pajak dapat mengecek pemadanan NIK sebagai NPWPini  di DJP Online. Apabila belum padan, wajib pajak dapat melakukan pemadanan melalui DJP Online dengan melengkapi data profil yakni data NIK/NPWP 16 digit, alamat email dan nomor ponsel, klasifikasi lapangan usaha (KLU), serta data anggota keluarga sesuai kondisi pada saat ini.

Setelahnya, wajib pajak dapat mengklik pada tombol "Ubah Profil" untuk mengubah data profil. Namun jika mengalami masalah, wajib pajak dapat menghubungi Kring Pajak atau KPP terdekat melalui email atau saluran lain.

DJP juga telah mengumumkan sejauh ini terdapat 37 layanan yang bisa diakses menggunakan NIK, NPWP 16 digit, dan NITKU. Layanan tersebut antara lain account DJP Online, info KSWP, e-bupot 21, e-bupot unifikasi, e-bupot unifikasi instansi pemerintah, serta e-objection.

Selanjutnya, e-registratione-filing, rumah konfirmasi, e-PHTB DJP Online, e-PBKe-SKDe-SKTDe-reporting investasi dan dividen, e-PHTB notaris, e-reporting PPS, e-SPOPe-reporting insentif, fasilitas insentif, perpanjangan SPT Tahunan, service API e-faktur eksternal, PMSE eksternal, e-faktur web dan desktop, SPT Masa PPN 1107 PUT, portal registrasi dan monitoring e-faktur PJAP, service PJAP faktur (API), dan e-nofa.

Selain itu, VAT refund modal khusus, e-form OP dan e-form badan, SPT Masa PPS Final, pelaporan investasi dealer utama, service PJAP laporan PMSE (API), e-filing PJAP (API), web billing internet, penyusutan dan amortisasi, serta pelaporan SPT bea meterai.

Selain bahasan mengenai pemadanan NIK-NPWP, ada pula ulasan lain mengenai proyeksi pertumbuhan ekonomi Indonesia oleh World Bank, target investasi di bawah pemerintahan baru, hingga rencana pembentukan Badan Karbon oleh Presiden Prabowo Subianto. 

Berikut ini ulasan artikel perpajakan selengkapnya. 

Bisa Daftar Coretax Tanpa Pemadanan NIK-NPWP

Wajib pajak orang pribadi nantinya bisa tetap mendaftar akun coretax administration system (CTAS) tanpa menjadikan nomor induk kependudukan (NIK) sebagai nomor pokok wajib pajak (NPWP).

Hal ini lantaran coretax akan menyediakan 2 pilihan registrasi bagi wajib pajak orang pribadi. Pertama, Registration with NIK Activation/NIK Activation (pendaftaran dengan aktivasi NIK/Aktivasi NIK). Kedua, Registration Only (hanya registrasi).

”Menu ini [hanya registrasi] digunakan oleh wajib pajak yang ingin memiliki akun coretax tanpa menjadikan NIK-nya sebagai NPWP,” jelas DJP dalam Buku Manual Coretax Modul Pendaftaran Wajib Pajak Orang Pribadi. (DDTCNews)

Bukti Potong Tetap Dibuat Meski Gaji di Bawah PTKP

Perusahaan atau pemberi kerja tetap memiliki kewajiban untuk membuatkan bukti pemotongan (bupot) PPh Pasal 21 atas penghasilan yang diterima oleh pegawai. 

Bukti potong PPh Pasal 21 harus tetap dibuatkan meski pegawai yang bersangkutan tidak memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) atau penghasilannya di bawah batas penghasilan tidak kena pajak (PTKP). Artinya, meski tidak ada pemotongan pajak yang dilakukan pun, bukti potong tetap perlu diterbitkan. 

Bukti pemotongan pajak merupakan bukti secara sah yang menunjukkan bahwa wajib pajak sudah membayar pajak yang terutang. Setelah menerima bukti potong, setiap wajib pajak sangat dianjurkan untuk menyimpan bukti potong tersebut dengan baik untuk kemudian dipakai dalam melaporkan SPT Tahunan. (DDTCNews)

Proyeksi World Bank: Ekonomi RI Tumbuh 5 Persen

World Bank meningkatkan proyeksi pertumbuhan ekonomi Indonesia baik untuk tahun ini maupun tahun depan. Dalam East Asia and Pacific Economic Update edisi Oktober 2024, perekonomian Indonesia pada 2024 diperkirakan tumbuh sebesar 5%. Dalam laporan sebelumnya, perekonomian Indonesia pada 2024 diperkirakan tumbuh hanya sebesar 4,9%.

"Di antara negara-negara besar, hanya Indonesia yang diperkirakan tumbuh setara atau di atas tingkat pertumbuhan sebelum pandemi Covid-19," tulis World Bank dalam keterangan resminya.

Adapun perekonomian Indonesia pada 2025 diperkirakan tumbuh sebesar 5,1%, lebih tinggi dari proyeksi sebelumnya yang sebesar 5%. (DDTCNews)

Menunggu Badan Karbon oleh Prabowo

Pemerintahan Prabowo Subianto berencana membentuk Badan Pengelola Pengendalian Perubahan Iklim dan Tata Niaga Karbon atau Badan Karbon. 

Bagian dari tim ekonomi Prabowo-Gibran, Ketua Umum Pengusaha Muda Nasional Anggawira menyampaikan pembentukan Badan Karbon merupakan komitmen dalam mengatasi perubahan iklim dan menangkap peluang ekonomi dari pasar karbon. 

Anggawira menyampaikan badan ini akan mengawasi perhitungan, verifikasi, dan pelaporan penurunan emisi yang dilakukan oleh berbagai sektor, seperti energi, industri berat, serta sektor kehutanan dan pertanian yang berpartisipasi dalam perdagangan karbon. (Harian Kompas)

Insentif Pajak Masih Menggantung

Rencana pemberian insentif pajak di bawah pemerintahan Prabowo-Gibran disebut masih samar. Alasannya, pembentukan dasar hukum dalam pemberian insentif-insentif pajak disebut butuh waktu yang tidak singkat. 

Kebijakan pajak yang dimaksud, antara lain penundaan kenaikan PPN menjadi 12% dan pemangkasan tarif PPh badan menjadi 20%. 

Anggawira menyebutkan pemerintahan Prabowo perlu melakukan revisi UU HPP jika ingin menunda kenaikan PPN 12%. Pasalnya, kebijakan kenaikan tarif PPN tersebut sudah tertuang dalam UU 7/2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP). (Kontan) (sap)

Cek berita dan artikel yang lain di Google News.
Bagikan:
user-comment-photo-profile
Belum ada komentar.