Ilustrasi.
JAKARTA, DDTCNews – Penanggung pajak yang tidak kunjung melunasi utang pajaknya bisa diterbitkan surat paksa. Adapun surat paksa adalah surat perintah membayar utang pajak dan biaya penagihan pajak.
Surat paksa menjadi salah satu upaya yang dapat ditempuh ditjen pajak (DJP) untuk menagih utang pajak. Upaya tersebut terbilang lebih tegas ketimbang upaya penagihan sebelumnya. Hal ini lantaran surat paksa tidak dapat lagi diajukan banding.
“... surat paksa langsung dapat dilaksanakan tanpa bantuan putusan pengadilan lagi dan tidak dapat diajukan banding,” bunyi penjelasan Pasal 7 ayat (1) Undang-Undang Penagihan Pajak dengan Surat Paksa (UU PPSP), dikutip pada Kamis (8/8/2024).
Pada hakikatnya, berdasarkan Pasal 7 UU PPSP, surat paksa mempunyai kekuatan eksekutorial dan kedudukan hukum yang sama dengan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap. Namun demikian, surat paksa tidak bisa sembarang diterbitkan.
Berdasarkan Pasal 8 ayat (1) UU PPSP, ada 3 kondisi yang membuat DJP menerbitkan surat paksa terhadap penanggung pajak. Pertama, penanggung pajak tidak melunasi utang pajak dan kepadanya telah diterbitkan surat teguran atau surat peringatan atau surat lain yang sejenis.
Kedua, terhadap penanggung pajak telah dilaksanakan penagihan seketika dan sekaligus. Ketiga, penanggung pajak tidak memenuhi ketentuan sebagaimana tercantum dalam keputusan persetujuan angsuran atau penundaan pembayaran pajak. Kondisi tersebut tidak bersifat akumulatif.
Dengan demikian, apabila penanggung pajak memenuhi salah satu kondisi tersebut maka bisa diterbitkan surat paksa. Mengacu pada kondisi tersebut, nyatanya surat paksa tidak serta merta diterbitkan melainkan lanjutan dari upaya penagihan pajak sebelumnya.
Secara lebih terperinci, berdasarkan PMK 61/2023, surat paksa dapat diterbitkan apabila penanggung pajak belum melunasi utang pajaknya setelah lewat waktu 21 hari terhitung sejak tanggal surat teguran disampaikan. (sap)