KEBIJAKAN CUKAI

Gencar Tindak BKC Ilegal, DJBC: Pemulihan Kerugian Negara Diutamakan

Dian Kurniati
Rabu, 31 Juli 2024 | 14.00 WIB
Gencar Tindak BKC Ilegal, DJBC: Pemulihan Kerugian Negara Diutamakan

Ilustrasi.

JAKARTA, DDTCNews - Ditjen Bea dan Cukai (DJBC) akan terus menggencarkan penindakan terhadap barang kena cukai (BKC) ilegal dengan melibatkan aparat penegak hukum.

Dirjen Bea dan Cukai Askolani mengatakan pemerintah juga akan tetap mengedepankan pemulihan kerugian pendapatan negara melalui prinsip ultimum remedium atau sanksi pidana sebagai upaya terakhir dalam menangani pelanggaran di bidang cukai.

"Kami melakukan ultimum remedium dengan mengedepankan denda kepada pelakunya dan lalu menjadi penerimaan negara," katanya, Rabu (31/7/2024).

Dalam Laporan APBN Kita edisi Juli 2024, penerimaan dari denda administrasi cukai senilai sekitar Rp70 miliar. Angka ini tumbuh 78% dibandingkan dengan periode yang sama tahun lalu.

Sementara itu, Direktur Komunikasi dan Bimbingan Pengguna Jasa DJBC Nirwala Dwi Heryanto menjelaskan prinsip ultimum remedium bertujuan menciptakan keadilan restoratif (restorative justice) yang lebih objektif.

Dengan prinsip itu, proses penelitian dan penyidikan pelanggaran di bidang cukai dapat dihentikan setelah yang bersangkutan membayar sanksi administratif berupa denda.

"Masyarakat tidak boleh salah memahami ultimum remedium. Ini bukan untuk menghilangkan peristiwa pidana, tetapi untuk mengakhirkan," ujarnya.

UU Cukai yang direvisi dengan UU HPP mengatur ketentuan mengenai prinsip ultimum remedium di bidang cukai. Dalam hal ini, UU HPP mengatur penyesuaian sanksi dalam upaya pemulihan kerugian pendapatan negara pada saat penelitian dan penyidikan.

Beleid itu menyatakan pejabat DJBC berwenang melakukan penelitian atas dugaan pelanggaran di bidang cukai. Jika hasil penelitian menunjukkan pelanggaran yang dimaksud bersifat pelanggaran administratif di bidang cukai, penyelesaiannya dapat dilakukan melalui pembayaran sanksi.

Penelitian atas dugaan pelanggaran hanya dibatasi pada 5 pasal, yaitu Pasal 50, Pasal 52, Pasal 54, Pasal 56, dan Pasal 58 UU Cukai. Kelima pasal ini mengatur pelanggaran perizinan, pengeluaran barang kena cukai (BKC), BKC tidak dikemas, BKC yang berasal dari tindak pidana, dan jual beli pita cukai.

Hasil penelitian yang tidak berujung pada penyidikan mewajibkan pelaku untuk membayar denda sebesar 3 kali jumlah cukai yang seharusnya dibayar. Adapun prinsip ultimum remedium terhadap pelanggaran di bidang cukai pada tahap penelitian juga diatur dalam PMK 237/2022.

Selanjutnya, revisi aturan juga berlaku untuk Pasal 64 UU Cukai terkait dengan pemulihan kerugian pendapatan negara pada tahap penyidikan. Dalam ketentuan sebelumnya, penghentian penyidikan mewajibkan pembayaran pokok cukai ditambah sanksi denda 4 kali cukai kurang dibayar.

Namun, melalui UU HPP, ketentuan tersebut diubah. Pemulihan kerugian pendapatan negara saat tahap penyidikan dilakukan dengan membayar sanksi denda sebesar 4 kali nilai cukai yang seharusnya dibayar.

Sebagai peraturan pelaksana terkait dengan penerapan ultimum remedium terhadap pelanggaran di bidang cukai pada tahap penyidikan, telah diterbitkan PP 54/2023 dan PMK 165/2023. (rig)

Cek berita dan artikel yang lain di Google News.
Bagikan:
user-comment-photo-profile
Belum ada komentar.