Salah satu slide yang dipaparkan oleh Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati.
JAKARTA, DDTCNews - Pemerintah mencatat realisasi penerimaan kepabeanan dan cukai hingga April 2024 mencapai Rp95,7 triliun, atau setara dengan 29,8% dari target yang ditetapkan pada APBN 2024 sejumlah Rp321 triliun.
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengatakan realisasi tersebut tumbuh 1,3% dari periode yang sama tahun lalu. Menurutnya, pertumbuhan penerimaan kepabeanan dan cukai tersebut didorong oleh penerimaan bea keluar yang tumbuh signifikan.
"[Realisasi] bea dan cukai Rp95,7 triliun. Itu 29,8% dari target dan tumbuh tipis 1,3%," katanya dalam konferensi pers APBN Kita, dikutip pada Selasa (28/5/2024).
Sri Mulyani menuturkan realisasi penerimaan cukai mencapai Rp74,2 triliun, turun 0,5%. Adapun realisasi penerimaan cukai tersebut setara dengan 30,2% dari target APBN.
Penerimaan cukai yang terkontraksi disebabkan fenomena peralihan konsumsi ke rokok dengan harga lebih murah (downtrading). Adapun produksi rokok golongan 1 dengan tarif cukai tinggi turun 3%, sedangkan produksi rokok golongan 2 tumbuh 14,2%.
Guna mengamankan penerimaan, Ditjen Bea dan Cukai (DJBC) terus melaksanakan penindakan terhadap barang kena cukai ilegal, terutama rokok. Hingga April 2024, DJBC melaksanakan 4.000 penindakan rokok ilegal senilai Rp311 miliar.
"Ini menggambarkan tatanan untuk cukai tidak hanya masalah mengumpulkan pendapatan, tetapi juga ada enforcement yang cukup kompleks di lapangan," ujar Sri Mulyani.
Mengenai bea masuk, Sri Mulyani menyebut realisasi penerimaannya mencapai Rp15,7 triliun, turun 0,5%. Kinerja tersebut setara dengan 27,4% dari target bea masuk.
Kontraksi tersebut disebabkan oleh penurunan tarif efektif bea masuk dari 1,47% menjadi 1,35%. Selain itu, terdapat penurunan penerimaan dari komoditas utama seperti kendaraan roda 4, suku cadang dari kendaraan, serta gas alam dan buatan.
Soal bea keluar, realisasi penerimaannya mencapai Rp5,8 triliun atau setara dengan 33% dari target APBN. Kinerja ini tumbuh 40,6%, terutama karena bea keluar dari barang mineral yang tumbuh 6 kali lipat dari tahun sebelumnya, serta relaksasi dari ekspor mineral.
Meski demikian, bea keluar produk sawit justru mengalami turun 68,3% karena harga CPO turun 11,16% dari US$911/MT menjadi US$809/MT. Di sisi lain, volume ekspor produk sawit juga turun 11,36% dari 12,95 juta ton menjadi hanya 11,48 juta ton.
"Jadi untuk sawit ini dua-duanya kena, yaitu volume dan harganya mengalami penurunan," tutur Sri Mulyani. (rig)