Ilustrasi. (freepik)
UNTUK pertama kalinya, pajak dinyatakan secara langsung sebagai salah satu aspek yang akan menjadi tema debat capres-cawapres pilpres 2024 di Indonesia. Lantas, bagaimana seharusnya pajak dibicarakan dalam debat capres-cawapres?
Pertanyaan itu muncul karena tema tentang pajak rencananya hanya masuk dalam debat kedua yang menjadi porsi cawapres. Tema lengkapnya adalah ekonomi kerakyatan dan ekonomi digital, keuangan, investasi, pajak, perdagangan, tata kelola APBN-APBD, infrastruktur, serta perkotaan.
Dengan ruang yang relatif terbatas tersebut, skema yang tepat untuk membicarakan pajak menjadi krusial. Terlebih, pajak menjadi penyumbang terbesar dalam pendapatan negara. Artinya, berjalannya pembangunan sangat bergantung pada pajak yang merupakan kontribusi masyarakat wajib pajak.
Oleh karena itu, DDTCNews mencoba untuk mengamati jalannya debat capres-cawapres di negara lain, dalam hal ini adalah Amerika Serikat (AS). Negara ini dipilih mengingat pajak selalu menjadi menu yang ditawarkan kepada rakyat oleh para calon pemimpin negara tersebut saat pilpres.
Terlebih, pajak mendominasi struktur pendapatan federal AS. Pajak penghasilan (PPh) orang pribadi mencatatkan porsi sekitar 50%. Kemudian, ada social security and medicare taxes sekitar 30%, PPh badan sekitar 9%, serta pajak dan pendapatan lainnya sekitar 11%.
Dengan demikian, pajak selalu terkait dengan hampir semua bidang dalam penyelenggaraan negara dan program pembangunan di AS. Karena berkaitan dengan hampir semua bidang, pajak selalu muncul dalam setiap penyelenggaraan debat, baik pada sesi capres maupun cawapres AS.
DDTCNews mencoba mengamati debat capres-cawapres di AS pada 2004, 2008, 2012, 2016, dan 2020. Tiap periode pilpres, Commission on Presidential Debates (CPD) selalu menggelar 3 kali debat capres (kecuali 2020 hanya 2 kali karena Covid-19) dan 1 debat cawapres.
Berdasarkan pada hasil pengamatan DDTCNews terhadap debat capres-cawapres di AS pada 2004, 2008, 2012, 2016, dan 2020, setidaknya ada 4 poin yang bisa ditarik dalam bentuk pertanyaan pemantik.
Pertama, apa saja agenda pajak yang diusung? Kedua, siapa yang akan terdampak agenda pajak tersebut? Ketiga, bagaimana implikasi agenda pajak itu terhadap kebijakan fiskal (APBN)? Keempat, bagaimana kepatuhan pajak capres-cawapres?
Baik presidential debate maupun vice presidential debate sering diwarnai dengan adu gagasan tentang agenda pajak capres-cawapres. Agenda pajak yang ditawarkan berkaitan dengan kebijakan strategis yang konkret mencakup subjek, objek, tarif, atau isu lainnya.
Secara umum, dalam 5 periode pilpres tersebut, agenda yang diusung pasangan dari Partai Republik berupaya untuk mengurangi beban pajak masyarakat berpendapatan tinggi. Sebaliknya, agenda yang diusung pasangan dari Partai Demokrat justru ingin menambah beban pajak tersebut.
Salah satu contohnya perdebatan pada saat pilpres 2016. Pada saat itu, Partai Republik mengusung Capres Donald Trump dan Cawapres Mike Pence. Sementara itu, Partai Demokrat mengusung Capres Hillary Clinton dan Cawapres Tim Kaine.
Donald Trump dan Mike Pence berencana melakukan pemotongan tarif pajak penghasilan marjinal tertinggi menjadi 33%. Mereka juga merencanakan penurunan tarif pajak atas semua pendapatan bisnis menjadi 15% dari sebelumnya 35%.
Mereka akan menerapkan tarif pajak penghasilan badan tersebut pada kemitraan dan jenis bisnis lain yang saat ini memberikan keuntungannya kepada individu—dan dikenakan pajak dengan tingkat pendapatan orang pribadi sebesar 39,6%—.
Dengan tarif baru yang lebih rendah, pelaku bisnis yang menghasilkan uang di luar negeri dan menyimpannya di luar AS kemungkinan akan memulangkan uangnya, membayar pajak yang lebih rendah, dan menginvestasikannya di dalam negeri.
“Saya akan mengurangi pajak secara besar-besaran. Saya sangat menantikan untuk melakukannya. Kita harus merundingkan kembali kesepakatan perdagangan kita. Kita harus menghentikan negara-negara lain mencuri perusahaan dan lapangan kerja kita,” ujar Donald Trump dalam Presidential Debate di New York, Senin (26/9/2016).
Sementara itu, Hillary Clinton dan Tim Kaine justru berencana mengenakan tax surcharge 4% untuk penghasilan di atas US$5 juta. Kemudian, pengenaan pajak setidaknya 30% untuk penduduk berpenghasilan di atas US$1 juta untuk mencegah pembayaran tarif keseluruhan yang rendah karena lebih rendahnya pajak capital gain.
Hillary Clinton dan Tim Kaine juga akan membatasi nilai pengurangan pajak (tax deduction) dan memperpanjang periode penyimpanan untuk mendapatkan tarif pajak keuntungan modal jangka panjang yang rendah.
Selain itu, Hillary Clinton dan Tim Kaine juga menjanjikan serangkaian perubahan pada peraturan pajak korporasi untuk mencoba menghalangi perusahaan memindahkan operasinya ke luar negeri dengan tujuan menghemat pajak. Salah satunya dengan penerapan exit tax terhadap perusahaan yang pindah ke luar AS tanpa terlebih dahulu memulangkan pendapatan yang disimpan di luar negeri.
“Apa yang saya usulkan akan dibayar dengan menaikkan pajak bagi orang-orang kaya karena merekalah yang memperoleh keuntungan dalam perekonomian. Saya pikir sudah waktunya bagi orang-orang kaya dan korporasi untuk membayar bagian mereka secara adil untuk mendukung negara ini,” tegas Hillary Clinton.
Contoh di atas memberikan gambaran pentingnya untuk melakukan adu gagasan agenda pajak yang diusung masing-masing capres-cawapres dalam debat. Dengan demikian, pemilih dapat mempertimbangkan agenda masing-masing pasangan sebelum menentukan pilihan dalam pilpres.
Tema pajak dalam debat tidak berhenti pada penyampaian agenda yang ditawarkan capres-cawapres. Berdasarkan pada pengamatan DDTCNews terhadap debat capres-cawapres di AS pada 2004, 2008, 2012, 2016, dan 2020, isu tentang pihak yang terdampak agenda pajak sering diperdebatkan.
Masyarakat kelas menengah ke bawah selalu menjadi pihak yang sering disebut tidak akan mendapatkan tambahan beban pajak dari ketentuan yang telah berlaku (existing). Hal ini cenderung disampaikan untuk menarik hati calon pemilih.
Perdebatan terkait dengan pihak yang akan terdampak oleh agenda pajak biasanya kerap dibarengi dengan penjelasan tujuan yang ingin dicapai. Adapun tujuan yang ingin dicapai itu sering kali berkaitan dengan aspek perekonomian, termasuk lapangan pekerjaan.
Kita ambil contoh saat pilpres 2012. Pada saat itu, Partai Republik mengusung Capres Mitt Romney dan Cawapres Paul Ryan. Sementara itu, Partai Demokrat mengusung petahana Capres Barack Obama dan Cawapres Joe Biden.
Salah satu agenda pajak yang ditawarkan Mitt Romney dan Paul Ryan adalah pemotongan tarif pajak penghasilan sebesar 20% secara keseluruhan. Pemotongan pajak 2001-2008 juga akan dipermanenkan. Mereka juga akan mencabut pajak properti dan alternative minimum tax (AMT).
Mitt Romney dan Paul Ryan juga berencana memberikan pembebasan pajak atas capital gain, dividen, dan bunga bagi rumah tangga berpenghasilan hingga US$200.000. Untuk mereka yang berpenghasilan di atas US$200.000 akan mendapat pengenaan pajak 15%.
Pasangan calon dari Partai Republik ini menyatakan akan membiayai pemotongan tarif secara menyeluruh dan pencabutan AMT dan pajak properti dengan pembatasan preferensi pajak, seperti pemotongan, kredit, dan pengecualian. Tarif pajak perusahaan juga akan diturunkan dari 35% menjadi 25%.
“Saya akan menurunkan tarif secara keseluruhan untuk semua orang. Namun, saya akan membatasi pemotongan, pengecualian, dan kredit, khususnya bagi orang-orang kelas atas. Saya tidak akan membuat orang-orang kelas atas membayar lebih sedikit daripada yang mereka bayar sekarang,” ujar Mitt Romney dalam Presidential Debate di New York, Minggu (16/10/2012).
Sementara itu, dalam agenda yang ditawarkan Barack Obama dan Joe Biden, hampir seluruh pemotongan pajak 2001-2008 akan dijadikan permanen. Namun, ada pengecualian bagi individu berpenghasilan US$200.000 atau lebih atau pasangan berpenghasilan di atas US$$250.000.
Barack Obama dan Joe Biden akan membiarkan 2 tarif pajak tertinggi kembali ke tingkat 36% dan 39,6%. Tarif pajak untuk keuntungan modal naik dari 15% menjadi 20 persen untuk rumah tangga berpendapatan tinggi. Selain itu, tarif pajak untuk dividen naik menjadi 39,6%.
Mereka akan membatasi nilai seluruh pengurangan dan beberapa pengecualian hingga 28%. Selain pemotongan, batasan tersebut akan berlaku untuk preferensi seperti bunga obligasi daerah dan premi asuransi kesehatan. AMT tidak dicabut. Tarif pajak korporasi akan dipangkas dari 35% menjadi 28%.
“Penghasilan pertama Anda senilai US$250.000 tidak ada perubahan. Itu berarti 98% keluarga AS, 97% usaha kecil tidak akan merasakan kenaikan pajak. Namun, untuk di atas US$250.000, kita bisa kembali ke tarif pajak yang kita miliki ketika Bill Clinton menjadi presiden,” ungkap Barack Obama.
Dengan adanya penjelasan komprehensif terkait dengan berbagai agenda pajak masing-masing capres-cawapres, calon pemilih akan mendapatkan gambaran mengenai proyeksi beban pajak yang akan ditanggungnya.
Kebijakan pajak sudah dipastikan berdampak pada kebijakan fiskal federal (APBN). Terlebih, janji-janji pemotongan beban pajak yang langsung dilakukan dengan perubahan tarif akan turut memengaruhi proyeksi penerimaan negara.
Perdebatan yang terjadi nyaris tidak menyinggung upaya peningkatan tax ratio. Perdebatan langsung dengan menyandingkan antara estimasi belanja program yang ditawarkan dan proyeksi penerimaan negara (terutama pajak). Dengan persandingan tersebut, dapat diketahui ada atau tidaknya potensi kenaikan defisit anggaran yang berkorelasi dengan penambahan utang.
Dalam debat capres-cawapres di AS sering muncul pernyataan tentang upaya untuk menekan nilai utang atau defisit anggaran. Tidak jarang pula pasangan calon menyampaikan adanya kebijakan lain yang dapat menambal potential loss dari agenda pajak yang diusung.
Namun, tak jarang pula asesmen lembaga think thank dan organisasi nirlaba dijadikan bahan debat. Biasanya, asesmen itu sudah memuat memproyeksi dampak dari agenda pajak terhadap penurunan/penambahan penerimaan negara serta defisit/surplus anggaran.
Salah satu contohnya terjadi saat debat pilpres 2008. Pada saat itu, Partai Republik mengusung Capres John McCain dan Cawapres Sarah Palin. Sementara itu, Partai Demokrat mengusung petahana Capres Barack Obama dan Cawapres Joe Biden.
Dalam debat pada Rabu (15/10/2008) di New York, moderator menyampaikan hasil perhitungan Committee for a Responsible Federal Budget. Rencana program yang disodorkan kedua pasangan calon, bahkan dengan berbagai penghematan yang dilakukan, dinilai akan menambah defisit lebih dari US$200 miliar. Adapun proyeksi defisit anggaran pada tahun itu senilai $455 miliar.
Atas asesmen tersebut, moderator tidak bertanya lagi mengenai potensi peningkatan dari sisi pendapatan, termasuk pajak. Dalam debat tersebut, masing-masing capres mendapat pertanyaan mengenai usulan program yang harus dipangkas, ditunda, bahkan dihilangkan.
Saat merespons pertanyaan tersebut, Barack Obama menekankan bahwa dia merupakan pendukung kuat sistem bayar sesuai dengan pemakaian (pay-as-you-go). Menurutnya, pemerintah menghilangkan seluruh program yang tidak berfungsi.
“Setiap dolar yang saya usulkan, saya usulkan potongan tambahan agar sesuai,” ujar Barack Obama.
Dia berjanji akan menelusuri anggaran federal. Program-program yang dibutuhkan dijanjikan akan berjalan lebih baik. Beberapa aspek yang menjadi prioritas untuk tidak dilakukan pemotongan adalah perlindungan kepada masyarakat, energi, dan pendidikan generasi muda.
Sementara itu, John McCain menyoroti tentang kemandirian energi. Menurutnya, AS harus berhenti mengirimkan US$700 miliar per tahun ke negara lain. Dia menyebut pentingnya untuk melihat pengembangan energi angin, tenaga surya, gas alam, nuklir, dan lepas pantai.
“Pertama-tama, saya akan membekukan pengeluaran secara keseluruhan. Kita harus mempunyai arah baru untuk negara ini,” kata John McCain.
Dia juga menentang subsidi etanol karena dinilai mendistorsi pasar dan menciptakan inflasi. Tarif impor etanol berbahan dasar tebu dari Brasil akan dihilangkan. Kemudian, dia juga menyebut rencana penghematan belanja pertahanan.
Penggalian gagasan mengenai dampak agenda pajak terhadap APBN—termasuk pilihan penghapusan program—turut memberikan gambaran prioritas belanja yang akan didanai dari penerimaan pajak.
Kepatuhan pajak tidak luput dari sorotan dalam debat capres-cawapres di AS. Salah satu dokumen yang bisa digunakan untuk menilai kepatuhan pajak itu adalah Surat Pemberitahuan (SPT). Meskipun laporan bersifat rahasia, ada tradisi capres di AS membuka SPT mereka ke publik.
Isu kepatuhan pajak capres ini makin menguat di gelaran debat ketika Donald Trump memutuskan untuk tidak membuka SPT miliknya. Saat kembali maju menjadi capres bersama cawapres Mike Pence pada 2020, Donald Trump beberapa kali mendapat pertanyaan tentang kepatuhan pajaknya.
Dalam debat pertama pada Selasa (29/9/2020) di Ohio, Chris Wallace dari Fox News menjadi moderator. Saat membuka pembahasan tentang rencana ekonomi, dia bertanya kepada Donald Trump terkait dengan pembayaran pajak.
“Seperti yang Anda ketahui, ada laporan baru bahwa pada 2016—tahun Anda terpilih sebagai presiden—dan 2017—tahun pertama Anda sebagai presiden—Anda membayar pajak pendapatan federal senilai $750 per tahun pada setiap tahun tersebut. Saya tahu Anda membayar banyak pajak lainnya, tapi saya menanyakan pertanyaan khusus ini. Benarkah Anda membayar pajak pendapatan federal senilai $750 setiap 2 tahun tersebut?” tanya Chris Wallace.
Terhadap pertanyaan tersebut, Donald Trump tidak menjawab dengan pasti kebenaran nilai pembayaran pajak itu. Dia hanya menegaskan dirinya telah membayar pajak penghasilan jutaan dolar AS. Dia mengaku pada saat itu tengah berlangsung audit sehingga SPT belum bisa dibuka ke publik.
“Jutaan dolar dan Anda akan bisa melihatnya,” ujar Donald Trump.
Dalam kesempatan itu, dia juga menjelaskan sebagai pebisnis, dia sudah mengikuti ketentuan yang berlaku. Dalam undang-undang yang berlaku, menurutnya, ada hak yang diberikan kepada wajib pajak untuk melakukan depresiasi dan kredit pajak.
Capres dari Partai Demokrat Joe Biden beberapa kali menyela jawaban Donald Trump. “Tunjukkan kepada kami SPT Anda!” sela Joe Biden.
Joe Biden juga menagih janji pembukaan SPT Donald Trump yang sudah dikatakan sejak dia menjadi capres pada 2016. Dalam kesempatan itu, Joe Biden juga mengatakan rencana penutupan celah peraturan yang memungkinkan Donald Trump membayar pajak federal yang sangat kecil.
Kepatuhan pajak capres-cawapres menjadi aspek yang penting bagi masyarakat AS. Terlebih, mereka akan menjadi pemimpin negara yang turut meminta kontribusi masyarakatnya lewat pembayaran pajak. Artinya, masyarakat juga ingin contoh kepatuhan pajak pemimpinnya.
Adapun keempat poin di atas juga sejalan dengan hasil survei pajak dan politik DDTCNews. Laporan hasil survei yang diikuti sebanyak 2.080 responden tersebut berjudul Saatnya Parpol & Capres Bicara Pajak. Publik dapat mengunduhnya di https://bit.ly/HasilSurveiPakpolDDTCNews2023.
Mayoritas responden (93,8%) menganggap debat capres-cawapres perlu secara khusus mengangkat topik cara untuk mendapatkan uang, termasuk perpajakan, sebagai pendanaan agenda pembangunan. Simak ‘Debat Capres: Perlu Topik Cara Dapat Pendanaan, Termasuk Perpajakan’.
Selain itu, mayoritas responden, termasuk gen Z dan milenial juga menganggap agenda pajak capres-cawapres penting disampaikan karena memengaruhi pilihan mereka. Simak sejumlah ulasan hasil survei tersebut di sini.
Masuknya pajak menjadi tema debat capres ini sejalan dengan dorongan DDTCNews lewat program Pajak dan Politik (Pakpol) dengan tagline Suaramu, Pajakmu. DDTCNews meyakini perpajakan tidak boleh ditinggalkan dalam berbagai diskursus pada saat momentum pesta demokrasi.
Terlebih, perpajakan adalah kontributor terbesar dari pendapatan negara. Founder DDTC sekaligus Pemimpin Umum DDTCNews Darussalam juga pernah menyampaikan pertanyaan pemantik, “Agenda Anda bagus, bagaimana mendanainya?” Simak ‘Pemilu 2024 Harus Bicara Soal Perpajakan!’ (kaw)