PERSPEKTIF

Pemilu 2024 Harus Bicara Soal Perpajakan!

Redaksi DDTCNews
Senin, 03 Juli 2023 | 06.25 WIB
ddtc-loaderPemilu 2024 Harus Bicara Soal Perpajakan!
Founder DDTC

PEMILU serentak akan diadakan 14 Februari 2024. Dalam hitungan bulan kita akan memilih presiden-wakil presiden, anggota DPR, anggota DPD, anggota DPRD provinsi, dan anggota DPRD kabupaten/kota 2024-2029. Dengan kata lain, tatanan politik yang baru akan terbentuk di skala nasional dan subnasional.

Melihat sejarahnya, pesta demokrasi di Indonesia—baik di tingkat pusat maupun daerah—jarang diwarnai oleh diskusi program pada sektor perpajakan. Akibatnya, publik tidak mengetahui sedari awal tentang gagasan perpajakan yang diusung tiap calon pemimpin dan wakil rakyat.

Walau menjadi pilar utama pendapatan negara di tingkat nasional, perpajakan seolah menjadi isu yang terisolasi dan menjadi variabel yang given. Di tingkat daerah, kemandirian fiskal melalui pajak juga menjadi permasalahan yang tak kunjung terpecahkan setelah lebih dari dua dasawarsa desentralisasi fiskal.

Oleh karena itu, ruang publik menjelang Pemilu 2024 mendatang sudah sepantasnya membahas isu perpajakan. Ada lima alasan kuat atas hal ini.

Lima Alasan

Pertama, perpajakan adalah permasalahan riil yang harus dihadapi seluruh calon pemimpin dan wakil rakyat. Janji politik dan agenda pembangunan yang ditawarkan setiap pihak yang berkompetisi dalam Pemilu 2024 seyogianya ditabrakkan dengan pertanyaan sederhana mengenai ‘cara pendanaannya dan kerangka politik anggaran’.

Pengalaman pemilu presiden di Ghana memberikan kisah menarik. Saat kampanye pemilihan presiden 2016, Nana Akufo-Addo menawarkan agenda pembangunan ketersediaan air bersih dan fasilitas dasar lainnya.

Tidak hanya itu, Nana Akufo-Addo juga menjual narasi penurunan tarif pajak korporasi dari 25% menjadi 20%. Janji tersebut mengantarkannya ke kursi presiden. Namun, karena luput mencermati kondisi fiskal Ghana yang sedang defisit anggaran dan memiliki utang tinggi, janji politiknya buyar.

Ia baru melakukan pembangunan berskala besar pada 2020—tahun pemilu—yang membawanya ke jabatan presiden periode kedua. Defisit anggaran kian melebar, alhasil sejak menjabat, utang terhadap PDB meningkat dari 55,9% (2016) ke 88,8% (2022).

Alih-alih penurunan tarif pajak korporasi, ia justru memperkenalkan beberapa pungutan baru melalui tiga undang-undang pada sektor pajak yang disahkan pada tahun ini. Kritik dari publik mengalir deras

Kasus di Ghana memberikan pelajaran berharga. Tanpa pemahaman yang memadai tentang persoalan anggaran dan agenda yang realistis tentang sektor perpajakan, pemimpin nasional dapat membawa suatu negara dalam kebijakan perpajakan yang bersifat ad-hoc serta petaka fiskal yang berkepanjangan.

Indonesia jelas membutuhkan para pemimpin dan wakil rakyat yang memiliki strategi pendanaan pembangunan yang jitu dalam koridor fiscal sustainability yang sehat. Sebab, dewasa ini tantangan memobilisasi penerimaan perpajakan kian hebat. Pada 14 Juni lalu, misalnya, Presiden Jokowi telah mengatakan sulitnya ‘mencari uang’.

Kedua, penerimaan sektor perpajakan masih terbatas. Sebagai instrumen terpenting untuk menjamin pendanaan pembangunan, kemampuan memobilisasi penerimaan perpajakan di Tanah Air masih relatif lemah.

Di tingkat nasional, kontribusi penerimaan perpajakan (pajak, kepabeanan, dan cukai) telah mencapai 80% dari total pendapatan negara. Namun demikian, tax ratio—yang dihitung dari penerimaan perpajakan terhadap PDB—hanya rata-rata sebesar 10,4% selama periode 2016-2022.

Sementara di tingkat subnasional, kontribusi pajak daerah (dan retribusi) hanya sekitar 17% dari total pendapatan daerah. Tax ratio—yang dihitung dari penerimaan pajak dan retribusi daerah terhadap PDRB—hanya di kisaran 1,2%-1,4% selama periode 2016-2021.

Deretan angka tersebut menyiratkan rendahnya kemandirian fiskal Indonesia. Bicara tentang belanja—agenda pembangunan—seharusnya tidak dapat dilepaskan dari pendapatan, termasuk cara-cara efektif untuk optimalisasi penerimaan perpajakan.

Opsi pembiayaan belanja lainnya, yaitu utang, memang masih terbuka. Namun demikian, ketatnya likuiditas dan krisis ekonomi global telah menciptakan kesulitan pendanaan pembangunan melalui alternatif utang ataupun opsi hibah (IMF, 2009).  Selain itu, utang yang tidak terkendali dapat menciptakan risiko fiskal pada masa mendatang dan berdampak bagi prospek ekonomi jangka panjang.

Melihat keseriusan dan skala persoalannya, tidak sepantasnya strategi mobilisasi penerimaan domestik dipisahkan dari diskusi politik selama beberapa bulan mendatang. Pemilu 2024 sepatutnya dijadikan ajang adu strategi memecahkan persoalan tax ratio, termasuk meletakkannya dalam agenda reformasi perpajakan yang bersifat estafet dan berkelanjutan

Ketiga, dalam konteks tata kelola pemerintahan, perpajakan merupakan instrumen penerimaan yang lebih baik dari sumber lainnya. Hingga kini, masih terdapat kecenderungan bagi politisi untuk menghindari isu perpajakan (silent) dalam platform politiknya atau berpandangan ada sumber-sumber lain yang lebih ‘ramah’ bagi konstituennya.

Fenomena tersebut bisa dijumpai dalam setiap pemilu di tingkat daerah. Kehadiran transfer ke daerah dan dana desa (TKDD)—yang realisasinya telah mencapai Rp769 triliun pada 2022—agaknya membuat politisi di tingkat daerah lebih percaya diri tentang soal ketersediaan dana pembangunan ketimbang membahas tentang pajak daerah.

Di tingkat pusat, sesekali juga masih terdengar bahwa Indonesia sebagai negara yang kaya sumber daya alam (SDA) seharusnya memiliki modal besar untuk melaksanakan pembangunan. Hal ini memang benar, tapi tidak sepenuhnya tepat.

Selain karena ketergantungan penerimaan dari sektor SDA umumnya tidak berkelanjutan dan sifatnya volatile, melimpahnya SDA cenderung mengurangi insentif untuk berinvestasi dalam reformasi perpajakan (Darussalam, Septriadi, dan Kristiaji, 2022).

Sektor SDA umumnya juga bersifat enclave economy dan ditopang sedikit wajib pajak. Akibatnya, tidak ada dorongan bagi pemerintah untuk menciptakan akuntabilitas pengelolaan sektor perpajakan secara umum (Barma, et.al, 2012). Dengan demikian, kesinambungan pendapatan negara dipertaruhkan.

Menariknya, perpajakan justru akan mendorong terbentuknya kontrak sosial antara negara dan masyarakat yang dilandasi oleh tax bargaining (daya tawar pengenaan pajak). Ketika negara memiliki ketergantungan yang besar dari penerimaan perpajakan, terdapat insentif untuk memberikan kesejahteraan, barang publik, dan pelayanan lebih baik sebagai bargaining process. Pada akhirnya hal-hal tersebut akan membentuk demokrasi representatif, politik yang lebih inklusif, serta kepemimpinan yang lebih kredibel.

Optimalisasi penerimaan perpajakan juga turut menstimulus pembenahan aspek kelembagaan (institusi), yang pada akhirnya akan memperkuat kapasitas negara. Aspek ini mencakup adanya perubahan perilaku pemerintah, dari pemungutan yang berbasis koersi (paksaan) menjadi yang berbasis pelayanan. Secara tidak langsung, akan muncul apa yang disebut sebagai governance dividend atau bonus positif dari perpajakan terhadap tata kelola pemerintahan (Moore, 2004).

Keempat, keselarasan dengan Visi Indonesia 2045. Setiap pemimpin dan wakil rakyat yang terpilih harus sanggup membentuk pondasi sektor perpajakan yang kompatibel dengan cita-cita bangsa di usianya yang ke-100 tahun.

Saat ini pemerintah tengah menyusun dokumen panduan perencanaan pembangunan kedua pada era reformasi, yaitu Rencana Pembangunan Jangka Panjang 2025-2045. Terdapat 5 visi yang hendak dicapai, salah satunya ialah pendapatan per kapita yang sesuai dengan negara maju. Dengan kata lain, Indonesia ditargetkan keluar dari middle-income trap di 2045. Untuk mencapai hal tersebut, setidaknya dibutuhkan pertumbuhan ekonomi minimal 6% setiap tahun.

Ambisi tersebut—mau tidak mau—mengikutsertakan diskursus tentang bagaimana desain perpajakan yang berorientasi bagi pertumbuhan PDB yang diinginkan. Menariknya, secara teori dan empiris, hubungan antara keduanya tidak sesederhana itu.

Misalkan, strategi revenue neutral growth-oriented mendorong adanya pergeseran tax mix yang lebih ramah terhadap ekonomi, dari dominasi pajak berbasis penghasilan menjadi dominasi pajak berbasis konsumsi dan kekayaan (Johansson, et.al, 2008). Bisa juga muncul perlunya menetapkan tarif progresif PPh orang pribadi tertinggi di atas 50% untuk menjamin pertumbuhan yang inklusif (IMF, 2013; Piketty, 2014).

Selain itu, pengalaman berbagai negara yang berhasil menjadi negara maju dapat jadi rujukan. Keberhasilan mencapai status negara maju umumnya didukung oleh transformasi strukur ekonomi, good governance, inovasi, dan sumber daya manusia yang berkualitas. Walau tidak ada keseragaman pola desain perpajakan, ada benang merah yang sama yaitu ketersediaan dana pembangunan untuk melakukan hal-hal tersebut.

Oleh karena itu, tidak mengherankan jika IMF menyarankan setiap negara setidaknya memiliki tax ratio sebesar 15% untuk memberikan daya ungkit pertumbuhan ekonomi secara berkelanjutan (Gaspar, Jaramillo, dan Wingender, 2016).

Dokumen Rancangan Akhir RPJPN 2025-2045 yang dirilis Bappenas Juni lalu bisa dibilang klop dengan temuan tersebut. Tax ratio Indonesia di 2045 ditargetkan sebesar 18-20%. Dengan demikian, setiap calon yang terpilih dari pemilu 2024 harus memiliki rencana dalam meningkatkan tax ratio secara gradual sekaligus mendesain sistem perpajakan yang selaras dengan koridor RPJPN 2025-2045.

Kelima, amanat konstitusi. Calon pemimpin nasional dan wakil rakyat yang tersebar di DPR, DPD, dan DPRD harus memahami bahwa keputusan untuk menjalankan kekuasaan, optimalisasi, desain sistem, dan tata cara pemungutan pajak di Indonesia berada di tangan mereka.

Pasal 23A UUD 1945 menyatakan bahwa pajak dan pungutan lain yang bersifat memaksa untuk keperluan negara diatur dengan undang-undang. Sedangkan, melalui Pasal 28H ayat (4) UUD 1945, Indonesia mengakui adanya hak milik pribadi dan hak milik tersebut tidak boleh diambil secara sewenang-wenang oleh siapapun.

Berdasarkan pada kedua pasal tersebut, pajak tidak hanya dipandang sebagai kewajiban kenegaraan, tetapi juga dipandang sebagai pengambilan sebagian harta oleh negara yang tidak boleh dilakukan sewenang-wenang dengan dibatasi oleh undang-undang.

Undang-undang mengenai perpajakan inilah yang nantinya merupakan produk hasil kesepakatan antara eksekutif (pemerintah) dengan legislatif (DPR). Singkatnya, terdapat hubungan konsekuensial antara pilihan rakyat dengan sistem pajak mendatang.

Oleh karena itu, publik perlu mengetahui agenda dan alam pemikiran calon presiden-wakil presiden dan anggota DPR 2024-2029. Sebagai contoh, bagaimana agenda capres-cawapres dalam meningkatkan tax ratio? Bagaimana posisi calon anggota DPR atas kenaikan tarif atau perluasan basis pajak?

Di tangan merekalah, nasib wajib pajak akan ditentukan. Melalui diskusi sektor perpajakan menjelang pemilu 2024, masyarakat seharusnya bisa memperoleh informasi yang lebih utuh—dan tidak sekedar menerka—perdebatan dan interaksi eksekutif-legislatif tentang perpajakan selama lima tahun ke depan.

Diskusi Perpajakan dalam Pemilu

Lantas, selanjutnya apa?

Dengan memperhatikan lima alasan kuat yang telah dibahas sebelumnya, masyarakat berhak untuk menuntut informasi tentang platform pajak yang diusung oleh seluruh peserta pemilu 2024. Perlu juga didorong hadirnya ruang publik yang memaksa setiap calon pemimpin nasional dan wakil rakyat -pusat dan daerah- untuk bicara soal perpajakan. Pertanyaan pemantiknya berangkat dari ungkapan “Agenda Anda bagus, bagaimana mendanainya?

Di sisi lain, partai politik, politisi, dan calon pemimpin nasional harus memahami kaitan yang erat antara belanja dan penerimaan negara yang sulit untuk dipisahkan. Isu perpajakan memang bukanlah sesuatu yang ‘merdu’ untuk didengar. Meskipun demikian, pengetahuan dan kejujuran tentang posisi agenda perpajakan tiap calon peserta pemilu akan memberikan gambaran yang lebih bernas.

Peran komunikasi yang strategis terutama untuk menjalin interaksi yang konstruktif antar stakeholders di sektor perpajakan sangat penting menjelang pemilu 2024. Tanpa adanya komunikasi dan interaksi tersebut, bukan mustahil kita terjerumus dalam ilusi situasi pajak ‘yang seolah baik-baik saja’ dan disembunyikan di balik selubung ‘atas nama rakyat’, ‘keberpihakan’, dan sebagainya.

Sebagai penutup, pemilu 2024 harus bicara soal pajak. Calonnya harus berani bersuara bagaimana mengenakan pajak. Pemilihnya harus jeli, berapa banyak pajak yang dikenakan kepada mereka nantinya. Hal ini dikarenakan suara Anda adalah pajak Anda!

Baca artikel-artikel menarik terkait dengan pajak dan politik di laman khusus Pakpol DDTCNews: Suaramu, Pajakmu.

Cek berita dan artikel yang lain di Google News.
Bagikan:
user-comment-photo-profile
Belum ada komentar.