Direktur Perpajakan Internasional DJP Mekar Satria Utama.
JAKARTA, DDTCNews - Ditjen Pajak (DJP) berkomitmen untuk mengimplementasikan income inclusion rule (IIR) sekaligus qualified domestic minimum top-up tax (QDMTT) mulai tahun depan.
Sesuai dengan Pilar 2: Global Anti Base Erosion (GloBE), IIR adalah klausul yang menjadi landasan bagi yurisdiksi untuk mengenakan top-up tax atas ultimate parent entity (UPE) dalam hal anak usaha dari perusahaan multinasional tersebut dikenai pajak dengan tarif efektif di bawah 15% oleh yurisdiksi lain.
Adapun QDMTT adalah klausul yang menjadi landasan bagi yurisdiksi untuk mengenakan pajak minimum domestik sebesar 15%. Bila suatu yurisdiksi mengenakan top-up tax atas laba yang kurang dipajaki berdasarkan QDMTT, yurisdiksi tempat UPE berlokasi kehilangan hak untuk mengenakan top-up tax lewat IIR.
"Pada 2023 kita sedang susun PMK-nya kemudian nanti rencananya pada 2024 kita sudah mengimplementasikan IIR dan QDMTT. Pada 2025, sesuai dengan guideline kita akan coba implementasi UTPR," ujar Direktur Perpajakan Internasional DJP Mekar Satria Utama dalam seminar bertajuk Indonesia Siap Menyongsong Pilar 2 BEPS 2.0: Menjembatani Paradoks Global Minimum Tax vs Tax Holiday Regime, Selasa (24/10/2023).
Mekar mengatakan penerapan IIR dan QDMTT di Indonesia telah didukung oleh 2 landasan hukum yakni Pasal 32A UU PPh s.t.d.t.d UU HPP serta Pasal 54 PP 55/2022.
Pada Pasal 32A UU PPh s.t.d.t.d UU HPP, pemerintah diberikan kewenangan untuk melaksanakan kesepakatan di bidang perpajakan baik secara bilateral maupun multilateral. Sebelum UU HPP, Pasal 32A UU PPh hanya memberikan ruang bagi pemerintah untuk melaksanakan persetujuan penghindaran pajak berganda (P3B) saja.
"Kita sudah tambahkan soal kerja sama perpajakan lainnya dan pencegahan BEPS yang ini dalam penjelasannya kita maksudkan itu adalah kesiapan untuk penerapan konsensus global Pilar 1 dan Pilar 2," ujar Mekar.
Dalam Pasal 54 PP 55/2022, telah dijabarkan lebih lanjut bahwa pajak minimum global dapat dikenakan atas grup perusahaan multinasional yang tercakup dalam perjanjian dalam rangka mencegah BEPS. Kewenangan untuk melaksanakan perjanjian tersebut diberikan kepada dirjen pajak.
Dengan pajak minimum global, grup perusahaan multinasional yang beroperasi secara internasional wajib membayar pajak dengan tarif minimum global sebesar sesuai dengan kesepakatan.
"Dengan demikian grup perusahaan multinasional Indonesia, yang tercakup dalam perjanjian atau kesepakatan, dapat dikenai pajak minimum global di Indonesia berdasarkan perjanjian atau kesepakatan internasional tersebut," bunyi ayat penjelas dari Pasal 54 ayat (1) PP 55/2022.
Perlu dicatat, pajak minimum global dengan tarif efektif 15% hanya berlaku atas grup perusahaan multinasional dengan pendapatan di atas €750 juta per tahun. Pajak minimum global diberlakukan sebagai common approach. Implikasinya, top-up tax bisa dikenakan oleh yurisdiksi mitra meski Indonesia belum mengadopsi Pilar 2.
"Walaupun suatu negara tidak mengikuti ketentuan itu [Pilar 2], negara tersebut akan tertinggal atau kehilangan benefit dari Pilar 2. Ini tidak mandatory, melainkan common approach. Jadi kalau kita tidak terapkan tetapi AS terapkan, ya tetap AS bisa memanfaatkan aturan-aturan dalam GloBE ini," ujar Mekar. (sap)