Sejumlah teknisi memeriksa solar panel Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) atap di pabriik PT BMC di Bekasi, Jawa Barat, Selasa (26/9/2023). PLTS atap dengan kapasitas sebesar 317.7 kilowat-peak kWp atau mampu memproduksi energi listrik hingga 434 MWh (megawatt-hour) per tahun. ANTARA FOTO/ Fakhri Hermansyah/Spt.
JAKARTA, DDTCNews - Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati meminta para pemimpin dunia untuk memberikan pendanaan guna mendukung transisi Indonesia menuju energi bersih.
Menurut Sri Mulyani, Indonesia membutuhkan dana senilai US$246 miliar atau kurang lebih Rp3.500 triliun untuk mencapai target penurunan emisi karbon.
"Sejak awal kami menyadari bahwa sektor swasta merupakan pihak yang berperan paling penting dalam mendukung transisi ini," ujar Sri Mulyani pada Berlin Global Dialogue 2023, dikutip Sabtu (30/9/2023).
Dalam rangka mendukung upaya transisi menuju energi bersih, Sri Mulyani mengatakan pemerintah juga telah membentuk energy transition mechanism (ETM) country platform yang menjadi wadah komunikasi terkait kebijakan dan regulasi kepada swasta.
Pada pasar modal, Sri Mulyani mengatakan Indonesia telah meluncurkan bursa karbon dalam rangka mendukung perdagangan pajak karbon oleh pihak swasta di Indonesia.
"Dua hari yang lalu Presiden Jokowi telah meluncurkan bursa karbon di Indonesia. Kami telah berusaha. Memang yang kami lakukan mungkin belum sempurna, tetapi kami senantiasa mencoba dan menampung feedback dari stakeholder," ujar Sri Mulyani.
Walaupun pendanaan transisi menuju energi bersih bakal lebih banyak didanai oleh swasta, Sri Mulyani mengatakan pemerintah bersedia memberikan penjaminan atas investasi yang mendukung upaya transisi melalui APBN.
Menurut Sri Mulyani, bila dibandingkan dengan negara lainnya, postur fiskal Indonesia amatlah sehat berkat rendahnya jumlah utang pemerintah saat ini.
"Anggaran kami sangat sehat meski ada pandemi Covid-19. Hanya sedikit negara yang berada pada posisi yang sama dengan Indonesia. Banyak negara yang saat ini posisi utangnya amat tinggi, utang Indonesia hanya sebesar 38% dari PDB," ujar Sri Mulyani. (sap)