Ilustrasi.
JAKARTA, DDTCNews - Pemerintah berencana mengenakan cukai terhadap minuman bergula dalam kemasan pada 2024. Rencana kebijakan tersebut menjadi salah satu bahasan media nasional pada hari ini, Selasa (22/8/2023).
Dalam dokumen Nota Keuangan dan RAPBN 2024, pemerintah menyatakan pengenaan cukai minuman bergula dalam kemasan (MDBK) akan membuat struktur penerimaan lebih proporsional. Selama ini, penerimaan cukai masih sangat bergantung pada cukai hasil tembakau (CHT) atau rokok.
“Diperlukan adanya burden sharing kepada barang lainnya yang dapat dikenakan cukai. Sampai saat ini, industri hasil tembakau masih menanggung beban target penerimaan cukai secara dominan," tulis pemerintah dalam dokumen tersebut.
Adapun wacana pengenaan cukai MBDK telah disampaikan pemerintah kepada DPR sejak awal 2020. Pemerintah dan DPR kemudian mematok target penerimaan cukai MBDK untuk pertama kalinya pada APBN 2022 senilai Rp1,5 triliun.
Melalui Perpres 98/2022, target itu kemudian direvisi menjadi Rp1,19 triliun. Adapun untuk 2023, target penerimaan cukai MBDK ditetapkan senilai Rp3,08 triliun atau naik 158,82% dari target tahun lalu. Namun, hingga saat ini, rencana tersebut belum dieksekusi.
MBDK merupakan minuman dalam kemasan yang mengandung gula, pemanis alami dan/atau pemanis buatan, yang dikemas bersama-sama maupun secara terpisah, tidak termasuk minuman mengandung etil alkohol.
Salah satu latar belakang pengenaan cukai MBDK adalah tingginya prevalensi penyakit tidak menular di Indonesia seperti diabetes melitus tipe II. Data Riset Kesehatan Dasar terakhir menunjukkan prevalensi diabetes melitus di Indonesia meningkat 30% hanya dalam periode 2013-2018.
Selain mengenai rencana pengenaan cukai MBDK, masih ada pula ulasan terkait dengan penghapusan Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) cabang mulai 1 Januari 2024. Kemudian, ada juga bahasan mengenai insentif perpajakan.
Saat ini, Indonesia hanya mengenakan cukai pada 3 objek, yaitu minuman mengandung etil alkohol (MMEA), hasil tembakau, dan etil alkohol. Adapun setoran dari CHT cukup mendominasi ketimbang barang kena cukai lainnya seperti MMEA dan etil alkohol.
Dibandingkan dengan negara Asean lainnya, Indonesia termasuk negara dalam kelompok extremely narrow coverage dalam pengenaan cukai. Atas kondisi itu, pemerintah mendorong kebijakan untuk menambah jenis barang yang akan dikenakan cukai berupa MBDK.
"Dengan momentum pemulihan ekonomi yang ditandai dengan pertumbuhan ekonomi 2022 sebesar 5,31%, memberikan ruang fiskal bagi pemerintah untuk memberlakukan kebijakan cukai terhadap MBDK di tahun 2024,” tulis pemerintah dalam dokumen Nota Keuangan dan RAPBN 2024. (DDTCNews)
Mulai 1 Januari 2024, Ditjen Pajak (DJP) akan menghapus NPWP cabang. Sesuai dengan ketentuan dalam PMK 112/2022, wajib pajak cabang akan menggunakan Nomor Identitas Tempat Kegiatan Usaha (NITKU).
“Sehingga NPWP cabang nantinya dihapus dan diganti oleh NITKU (bukan NPWP 16 digit),” tulis DJP dalam laman resminya, dikutip pada Senin (21/8/2023).
DJP menegaskan NITKU terdiri atas 22 digit. Adapun 22 digit yang menjadi pembentuk NITKU adalah 16 digit awal NPWP wajib pajak pusat dan 6 digit berikutnya sebagai nomor urut (sequence) yang di-generate oleh sistem DJP. (DDTCNews)
Pemerintah menyatakan peningkatan investasi menjadi salah satu fokus pada 2024 untuk percepatan pertumbuhan ekonomi. Adapun kebijakan fiskal untuk meningkatkan investasi pada 2024 akan diarahkan dalam berbagai langkah. Salah satunya dengan melanjutkan kebijakan insentif perpajakan.
"Kebijakan insentif perpajakan, khususnya pajak penghasilan, meliputi tax holiday, tax allowance, dan super deduction, serta jenis pajak lainnya sepanjang badan usaha atau wajib pajak yang bersangkutan memenuhi persyaratan yang ditentukan," tulis pemerintah dalam dokumen Nota Keuangan dan RAPBN 2024. (DDTCNews)
Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) meminta dukungan pemerintah terkait dengan investasi sektor energi terbarukan. Ketua Apindo Shinta W Kamdani mengatakan salah satu insentif yang perlu diberikan ialah tax holiday. Menurutnya, insentif tax holiday tersebut seyogianya diberikan kepada pelaku usaha tanpa perlu mempertimbangkan nilai investasi.
"Dengan demikian, pengusaha lokal yang membangun pembangkit skala kecil dengan biaya dibawah batasan investasi juga berhak mendapatkan tax holiday," katanya.
Shinta menambahkan pemerintah juga perlu memberikan insentif bagi pelaku usaha yang mengganti mesin produksinya dalam rangka mengurangi emisi. Tak hanya itu, pemerintah juga diminta untuk menerapkan pajak karbon. (DDTCNews) (kaw)