Menteri Investasi/Kepala BKPM Bahlil Lahadalia.
JAKARTA, DDTCNews - Kementerian Investasi/Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) mempertanyakan sikap International Monetary Fund (IMF) yang merekomendasikan pemerintah Indonesia untuk mengkaji kebijakan larangan ekspor bijih nikel.
Menteri Investasi/Kepala BKPM Bahlil Lahadalia mengatakan larangan ekspor bijih nikel tidak mengurangi penerimaan negara serta memberikan dampak positif terhadap pertumbuhan ekonomi nasional serta di daerah.
"Dengan melakukan hilirisasi, itu penciptaan nilai tambah sangat tinggi sekali. Ekspor nikel kita pada 2017 dan 2018 hanya US$3,3 miliar. Begitu setop ekspor nikel dan melakukan hilirisasi, itu ekspor pada 2022 hampir US$30 miliar," katanya, dikutip pada Minggu (2/7/2023).
Pelarangan ekspor bijih nikel mentah memang menekan penerimaan bea keluar. Walau demikian, nilai tambah dari hilirisasi diklaim memberikan tambahan penerimaan dari PPh Badan, PPN, dan PPh Pasal 21 yang dipotong dari upah karyawan.
"IMF menentang kebijakan pelarangan ekspor karena menurut analisa untung rugi oleh IMF itu menimbulkan kerugian bagi penerimaan negara. Pemikiran IMF ini keliru besar," tuturnya.
Sejak diterapkannya larangan ekspor bijih nikel, Kementerian Investasi mencatat produk domestik regional bruto (PDRB) per kapita di daerah penghasil nikel mampu melampaui rata-rata pertumbuhan PDB per kapita nasional.
Contoh, rata-rata pertumbuhan PDRB per kapita di Sulawesi Tengah mampu mencapai 20,3% seiring dengan dihentikannya ekspor nikel mentah. Sementara itu, pertumbuhan PDRB per kapita di Maluku Utara mampu mencapai 19,4%.
"Contoh Maluku Utara, dulu sebelum hilirisasi ada Antam di situ. Antam ambil bahan bakunya saja tanpa membangun smelter. Pertumbuhan ekonominya di bawah nasional, sekarang pertumbuhan ekonomi Maluku Utara di atas pertumbuhan ekonomi nasional," ujar Bahlil.
Sebagai informasi, IMF melalui laporan Article IV mendorong Indonesia untuk menghentikan pelarangan ekspor bijih nikel secara bertahap. Menurut IMF, kebijakan hilirisasi perlu diambil dengan meminimalkan dampak terhadap negara lain.
"Kami menyambut baik upaya meningkatkan nilai tambah ekspor, investasi asing, serta transfer pengetahuan dan teknologi. Namun, kebijakan ini harus didukung dengan cost-benefit analysis yang lebih baik dan perlu dirancang dengan meminimalkan dampak secara lintas batas negara," tulis IMF. (rig)