Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati. ANTARA FOTO/Sigid Kurniawan/tom.
JAKARTA, DDTCNews – Menteri Keuangan Sri Mulyani memberikan respons atas laporan terbaru World Bank yang menyatakan Indonesia perlu mengoptimalkan penerimaan agar negara memiliki ruang yang lebih besar dalam membantu kelompok miskin dan rentan.
Sri Mulyani menjelaskan pemerintah selama ini telah melakukan berbagai langkah reformasi untuk mengoptimalkan penerimaan negara. Harapannya, kinerja penerimaan negara bisa meningkat secara berkesinambungan.
"Reformasi belum selesai, bahkan ketika kita sudah melewati proses legislasi. Ini baru permulaan," katanya, dikutip pada Rabu (10/5/2023).
Sri Mulyani menuturkan perbaikan untuk optimalisasi penerimaan telah dimulai sejak puluhan tahun lalu. Misal, pada pajak penghasilan. Dia menceritakan bahwa jumlah wajib pajak orang pribadi saat pertama kali menjabat sebagai menteri keuangan pada 2005 hanya kurang dari 1 juta.
Melalui upaya ekstensifikasi, jumlah wajib pajak orang pribadi kemudian bertambah hingga mencapai 17,35 juta orang pada 2022.
Saat ini, Ditjen Pajak (DJP) juga terus berupaya memperbaiki basis data pajak dengan memanfaatkan teknologi digital. Dengan strategi ini, otoritas bisa mudah memetakan wajib pajak kecil, konglomerat yang menjadi wajib pajak besar, serta sektor informal yang belum masuk dalam sistem pajak.
Saat pandemi Covid-19, lanjut menkeu, pemerintah masih melaksanakan berbagai reformasi untuk mengoptimalkan penerimaan seperti melalui pengesahan UU Cipta Kerja, UU Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP), serta UU Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah (HKPD).
UU HPP memiliki ruang lingkup yang luas yakni ketentuan umum dan tata cara perpajakan (KUP), PPN, pajak penghasilan, pajak karbon, serta cukai. Pada UU HPP, pemerintah juga mengevaluasi pemberian fasilitas PPN sebagaimana direkomendasikan World Bank.
UU HPP menghapus sejumlah barang dan jasa dari daftar objek yang tidak dikenai PPN sehingga kini menjadi objek PPN.
Namun, beleid tersebut juga memberikan fasilitas PPN dibebaskan dan PPN tidak dipungut atas penyerahan barang kena pajak (BKP) dan pemanfaatan jasa kena pajak (JKP) tertentu seperti bahan kebutuhan pokok, layanan kesehatan, dan layanan pendidikan.
Sri Mulyani memandang pemerintah belum dapat menghapus fasilitas pembebasan PPN tersebut karena menyangkut masyarakat luas dan proses politik yang kompleks.
"Saya setuju dengan rekomendasi ini, tetapi kami juga harus mengambil mempertimbangkan aspek politiknya. Kami melakukan reformasi setiap ada peluang atau kemampuan untuk mendorongnya," ujarnya.
World Bank dalam laporan terbarunya berjudul Pathways Towards Economic Security Indonesia Poverty Assessment juga menyarankan Indonesia menghapus fasilitas pembebasan PPN sebagai bagian dari upaya optimalisasi penerimaan pajak.
Di sisi lain, Indonesia juga direkomendasikan untuk menaikkan tarif cukai atas minuman alkohol dan tembakau, serta mengenakan cukai gula dan pajak karbon.
Peningkatan penerimaan pajak serta penghapusan subsidi yang tidak efisien dinilai dapat menciptakan ruang fiskal yang lebih besar untuk melakukan investasi yang berpihak pada masyarakat miskin. (rig)