Partner DDTC Fiscal Research B. Bawono Kristiaji (kanan) saat menjadi pembicara utama dalam kuliah umum di Universitas Multimedia Nusantara (UMN), Jumat (12/4/2019).
JAKARTA, DDTCNews – Dunia masih dihadapkan pada rumitnya pemajakan terhadap ekonomi atau bisnis digital. Terlebih, perkembangan teknologi digital telah membuat transaksi lintas batas (cross border) semakin mudah dan marak.
Hal ini diungkapkan Partner DDTC Fiscal Research B. Bawono Kristiaji saat menjadi pembicara utama dalam kuliah umum di Universitas Multimedia Nusantara (UMN), Tangerang. Kuliah umum kali ini mengambil tema ‘Aspek Perpajakan bagi Industri Digital di Indonesia’.
Menurutnya, ada tiga langkah atau tahapan yang harus dilakukan sebelum menentukan keputusan terkait pemajakan pada ekonomi digital. Pertama, memahami model bisnis yang dijalankan. Menurutnya, ekosistem ekonomi digital kaya dari sisi model bisnis.
Oleh karena itulah, pemahaman terhadap model bisnis sangat krusial untuk mengetahui suatu bisnis daring dijalankan. Konsep siapa penerima manfaat, apa manfaat didapatkan, serta bagaimana aliran uang berjalan menjadi krusial untuk diidentifikasi.
“Pajak atas ekonomi digital adalah soal bagaimana memahami proses bisnisnya. Bagaimana pola transaksi dan aliran uangnya ke mana. Ini penting karena tidak semua bisa dipukul rata,” katanya di Function Hall Kampus UMN, Jumat (12/4/2019).
Kedua, mengidentifikasi sejauh mana ketentuan pajak relevan dengan proses bisnis ekonomi digital. Kemampuan ketentuan pajak untuk menjangkau entitas bisnis digital menjadi krusial. Selain itu, perlu juga melihat tingkat kepatuhan pelaku ekonomi digital atas aturan perpajakan yang berlaku.
Ketiga, memilih solusi yang akan dijalankan. Solusi ini bisa berupa perubahan kebijakan, perbaikan administrasi, ataupun keduanya. Selain itu, membedakan karakteristik perusahaan yang bergerak di ranah ekonomi digital juga penting.
“Ini baru terlihat kebijakan yang bisa diambil apakah tambah subjek, objek, dan tarif baru atau bisa dilakukan terobosan yang bersifat administratif,” paparnya.
Ketiga langkah tersebut, sambung Bawono, memang bukanlah pekerjaan yang mudah untuk dilakukan. Pasalnya, dengan proses bisnis yang sangat beragam, otoritas membutuhkan extra effort untuk memajaki entitas digital.
Kerumitan pemajakan ekonomi digital itu bisa terlihat dari beberapa kasus seperti proses bisnis Google, Airbnb, Wechat, Instagram, dan Amazon. Kelima entitas bisnis tersebut mempunyai proses bisnis yang berbeda- beda, sehingga diperlukan pendekatan kebijakan yang bersifat spesifik.
“Untuk model participatory networking seperti Airbnb, dalam studi kasus di Norwegia, ada kebijakan paksaan untuk pemberian data kepada otoritas. Beda lagi dengan Wechat yang harus melalui Gerbang Pembayaran Nasional (GPN), misalnya, agar setiap transaksi termonitor,” jelasnya.
Kompleksitas proses bisnis juga dapat dilihat di Google, Amazon, dan Instagram. Untuk memitigasnya perlu pendekatan yang spesifik. Hal inilah yang kemudian menjadi tantangan berat untuk bisa memajaki ekonomi digital secara efektif dan efisien.
“Sayanganya sering kali diskusi pemajakan ekonomi digital terdistorsi isu lain dan contohnya soal pajak E-Commerce dalam PMK 210 [2018] yang ditarik penerapannya,” imbuh Bawono. (kaw)