Ilustrasi.
JAKARTA, DDTCNews - Neraca perdagangan pada Februari 2019 tercatat surplus. Namun, surplus ini bukan dikarenakan kinerja ekspor yang membaik, melainkan penurunan tajam dari impor.
Kepala Badan Pusat Statistik (BPS) Suhariyanto mengatakan ekspor pada Februari tercatat senilai US$12,5 miliar. Angka ini turun 10,05% dari capaian Januari 2019 yang nilai ekspornya mencapai US$13,9 miliar. Penurunan ini paralel dengan lesunya ekspor dari industri pengolahan.
Penurunan kinerja ini lebih banyak dikarenakan motor utama ekspor yakni industri pengolahan, tengah lesu. Sektor usaha dengan kontribusi sebesar 74% dari ekspor nasional ini tercatat turun 7,71% dari capaian pada Januari 2019.
“Industri pengolahan turun banyak disumbang penurunan ekspor minyak kelapa sawit/crude palm oil (CPO),” katanya dalam konferensi pers di Kantor BPS, Jumat (15/3/2019).
Komoditas yang masuk dalam golongan barang lemak dan minyak nabati ini terkontraksi 15% dalam dua bulan pertama 2019 dengan ekspor sebesar US$2,9 miliar. Penurunan kinerja ekspor sektor ini memberikan dampak signifikan karena berkontribusi sebesar 12% dari total ekspor selama 2019.
Penurunan kinerja ekspor ini juga banyak disumbang turunnya ekspor batu bara. Komoditas yang masuk dalam golongan bahan bakar mineral ini terkontraksi 8,77%. Ekspor golongan barang ini turun dari US$1,9 miliar pada Januari 2019 menjadi US$1,6 miliar pada Februari 2019.
“Bahan bakar mineral dan lemak minyak nabati turun ekspornya karena penurunan ekspor CPO dan batu bara pada Februari 2019,” tandas Suhariyanto.
Dia menyebut kondisi ini harus menjadi perhatian pemerintah. Di tengah melandainya perdagangan global, diversifikasi komoditas dan pasar harus menjadi arah arah kebijakan utama untuk menggenjot ekspor.
“Kita masih punya pekerjaan rumah untuk melakukan diversifikasi pasar dan produk ekspor,” imbuhnya. (kaw)