JAKARTA, DDTCNews – Mahkamah Konstitusi (MK) kembali menggelar sidang uji materi atas Undang-Undang No. 9 /2017 mengenai akses informasi keuangan pada hari ini, Senin (19/2).
Sejatinya, sidang ini berlangsung untuk meminta keterangan dari pihak DPR dan pemerintah. Namun karena dalam masa reses, tidak ada keterangan dari anggota dewan yang diberikan. Alhasil agenda hanya mendengarkan keterangan ahli dari pihak pemerintah.
Setidaknya ada empat saksi ahli yang dihadirkan, mereka adalah pengamat pajak Darussalam dan Yustinus Prastowo. Selain itu hadir pakar Hukum Tata Negara Refli Harun serta ahli ekonomi Chatib Basri.
Pengamat pajak Darussalam menjelaskan setidaknya ada empat poin penting dari aturan akses informasi untuk kepentingan perpajakan. Empat poin penting tersebut menjadi alasan landasan penerapan aturan yang memungkinkan petugas pajak mengintip data keuangan nasabah di Indonesia.
"Pertama adalah situasi perpajakan di Indonesia yang tingkat kepatuhan pajaknya masih rendah. Kedua ialah struktur peneriman pajak yang masih didominasi oleh PPh Badan. Ini anomali di mana setoran PPh orang pribadi yang seharusnya lebih tinggi," katanya di ruang sidang MK.
Darussalam menjelaskan terkait situasi perpajakan, saat ini terdapat 131 juta pekerja aktif di Indonesia. Dari angka tersebut hanya 36 juta orang yang terdaftar menjadi wajib pajak. Sementara yang melaporkan SPT hanya 12 juta wajib pajak. Oleh karena itu, untuk mendorong kepatuhan maka penting bagi Ditjen Pajak untuk mendapat akses terhadap informasi keuangan.
"Kemudian dari struktur, kita itu anomali dimana penerimaan PPh Badan 25 kali lebih besar dibanding penerimaan PPh orang pribadi. Padahal di negara-negara maju setoran PPh pribadi lebih besar dari PPh badan," ungkapnya.
Kemudian, masih tingginya shadow economy menjadi poin ketiga mengapa aturan ini dibutuhkan. Pasalnya, angka kegiatan ekonomi yang tidak terdeteksi alias informal ini cukup tinggi di Indonesia.
"Dari sejumlah penelitian jumlah shadow economy kita sebesar 18,9%. Nah bagaimana segmen ini bisa masuk dalam sistem perpajakan Indonesia. Nah mau tidak mau, melalui sistem akses informasi perpajakan ini mereka bisa masuk di dalamnya," paparnya.
Terakhir dan tidak kalah penting adalah maraknya praktek penghindaran pajak yang masih masif dilakukan baik nasional maupun internasional. Sehingga ada urgensi dalam skala global untuk menghentikan praktik yang merugikan ini.
"Terkait penyelewengan pajak ini satu studi menyebutkan secara internasional 8% kekayaan global atau US$7,6 trilun itu diletakkan di negara-negara tax haven. Dari jumlah tersebut hanya 20% yang bisa dipantau oleh otoritas pajak. 80%-nya bersembunyi dibalik kerahasian bank," tutupnya. (Amu)