Presiden Komisi Eropa Ursula von der Leyen (kiri) dan Presiden Amerika Serikat Joe Biden. (Foto: republicworld.com)
PRESIDEN Komisi Eropa Ursula von der Leyen akhirnya bisa tersenyum lebar. Setelah melakukan pembicaraan telepon dengan Presiden Amerika Serikat Joe Biden awal Maret 2021 lalu, kepada pers ia menyampaikan ada banyak kabar baik yang diperoleh dari ‘kawan kita di Gedung Putih’.
Ursula mengaku keduanya telah sepakat menangguhkan semua tarif dalam sengketa Airbus-Boeing untuk 4 bulan. AS dan Eropa juga sepakat bekerja sama dalam penanganan pandemi, mengaktifkan Perjanjian Paris, dan meningkatkan kerja sama mendukung demokrasi, stabilitas, dan kemakmuran.
Senyum lebar Ursula tentu penting bagi lanskap politik dan ekonomi global. Maklum, dalam 4 tahun terakhir pada masa pemerintahan Donald Trump, AS dan Eropa terus bersitegang. Pandemi Covid-19 yang menghantam dunia juga tidak bisa menyatukan mereka.
Konflik antara keduanya bahkan terus melebar, mulai dari perdagangan, pajak, pertahanan, teknologi, juga hubungan luar negeri. Namun, kini, ada harapan besar situasi tersebut akan berangsur normal. “Kini sudah waktunya kami terhubung kembali,” tambah Ursula.
Begitupun setelah pekan lalu Kementerian Keuangan Amerika Serikat (AS) menerbitkan dokumen berjudul The Made in America Tax Plan. Dokumen ini berisi sejumlah rencana kebijakan perpajakan yang akan dilakukan Presiden AS Joe Biden selama masa pemerintahannya.
Dokumen itu menyebut Pemerintah AS akan menciptakan iklim yang kompetitif, menghapuskan praktik profit shifting, mencegah perang tarif pajak, dan menciptakan kebijakan perpajakan yang mendukung perkembangan energi terbarukan serta ramah lingkungan.
Tak lama setelah dokumen itu terbit, hampir seluruh negara besar di daratan Eropa mendukungnya, termasuk beberapa negara tax haven seperti Belanda, Luksemburg—meski secara diplomatik karena mereka harus mengakui akan ada pukulan besar terhadap negaranya.
Menteri Keuangan Belanda Hans Vijlbrief mengatakan rencana Biden adalah langkah besar untuk menemukan solusi global dan mengembangkan aturan yang efektif. Menteri Keuangan Luksemburg Pierre Gramegna, seperti dilansir ft.com, mengatakan inisiatif AS akan membantu menciptakan lapangan bermain global.
Sementara negara tax haven lain di Eropa seperti Siprus dan Malta masih belum berkomentar, Irlandia, yang tarif pajaknya sebesar 12,5% sejak 2003 telah menarik ratusan perusahaan AS ke sebuah pulau di ujung Eropa, bersuara berbeda.
Menteri Keuangan Irlandia Paschal Donohoe mengatakan negara-negara kecil seperti Irlandia harus dapat menggunakan kebijakan pajak sebagai pendorong yang sah untuk mengompensasi keuntungan skala, sumber daya dan lokasi yang dinikmati oleh negara-negara yang lebih besar.
Ia mengatakan Irlandia akan kehilangan €2 miliar penerimaan pajaknya pada 2025 karena reformasi pajak global. “Dalam setiap pembicaraan dengan AS dan OECD, kami akan pertahankan persaingan pajak yang sah dalam aturan yang adil dan berkelanjutan,” katanya seperti dilansir politico.eu.
Di lain pihak, Organisation for Economic Cooperation and Development (OECD) yang bermarkas di Paris juga menyambut hangat proposal pajak Biden. Proposal itu diyakini akan mengubah posisi AS dalam pencapaian konsensus global pemajakan ekonomi digital yang ditarget rampung paruh tahun ini.
Terlihat, ketika kekuatan politik global sudah menyatu, muncul harapan besar akan pemulihan ekonomi yang lebih agresif pascapandemi—seperti dikonfirmasi International Monetary Fund yang awal April ini menaikkan proyeksi pertumbuhan ekonomi global menjadi 6% dari sebelumnya 5,5% dan 5,2%.
Sikap Indonesia
SENADA dengan sikap negara-negara Eropa, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengatakan Presiden Biden akan membawa angin segar bagi tercapainya konsensus global pemajakan ekonomi digital. Dengan demikian, Indonesia bisa menarik pajak penghasilan (PPh) perusahaan digital asing.
“Kami berharap sekarang sudah ada pemerintahan baru yang lebih dalam hal ini percaya pada cooperation secara multilateral dan bersama-sama, tidak unilateral, kami berharap itu akan tercapai,” katanya dalam Rapat Kerja bersama Komisi XI DPR RI, Senin (1/2/2021).
Adapun konsensus pajak digital dalam pembahasan Pillar 1: Unified Approach dan Pillar 2: Global Anti Base Erosion rencananya digelar paruh 2021, setelah sejak 2019 lalu tidak mencapai mufakat. Posisi AS, sebagai negara adidaya, sangat menentukan dalam negosiasi tersebut.
Beberapa kali, AS tiba-tiba memilih mundur dari komitmen inclusive framework yang beranggotakan 137 negara. Permasalahan AS adalah masalah pembagian PPh perusahaan digital terhadap seluruh negara yang memberikan manfaat ekonomi dan atas kedudukan badan usaha di suatu negara.
Karena belum adanya konsensus itulah, Pemerintah Indonesia memilih tidak mengenakan PPh dengan melakukan aksi unilateral seperti Indi atau Prancis, tetapi hanya mengenakan pajak pertambahan nilai (PPN). Penerapan PPN yang merupakan pajak atas konsumen tentu lebih mudah daripada PPh.
“Kalau nanti di G20 akan ada presidennya dan tahun depan Indonesia jadi tuan rumah atau presiden, kami fokusnya bagaimana digital taxation bisa tercapai. Kami tahu sekarang ini semua saling lihat, kalau kita mengekspos suatu pajak digital, kita bisa kena retaliasi,” ujarnya.
Harapan Sri Mulyani bisa terwujud, tetapi bisa tidak. Proposal pajak Biden masih harus menghadapi tantangan lain: Politik dalam negeri. Tidak ada orang yang rela pajaknya dinaikkan. Saat kekuatan ini menyatu dengan partai politik di AS, boleh jadi rencana Biden berantakan. Itu yang perlu diingat. (Bsi)
Cek berita dan artikel yang lain di Google News.