Tangkapan layar susana acara Global Tax Policy Seminar.
YORK, DDTCNews - Indonesian Tax Centre in the United Kingdom (Intact UK) berkolaborasi dengan University of York mengadakan Global Tax Policy Seminar pada Jumat (9/6/2023).
Acara ini menghadirkan sejumlah akademisi dan praktisi dari Indonesia dan Britania Raya. Seminar yang berlangsung di University of York ini dibuka secara langsung oleh Profesor Neil Lunt, Head of MPA CASPPER sekaligus Associate Dean dari School for Business and Society University of York.
Saat menjadi narasumber dalam acara tersebut, praktisi pajak Vanessa Vázquez Felpeto mengatakan pemerintah di berbagai belahan dunia tengah menghadapi beberapa tantangan dalam upaya peningkatan pendapatan pajak.
“Dimulai dari ketidakpastian ekonomi, tuntutan terkait transparansi, keadilan pajak hingga perubahan struktur dari kondisi ekonomi saat ini yang ditandai dengan munculnya berbagai model bisnis baru, seperti usaha digital (digital services),” ujarnya, dikutip dari keterangan resmi Intact UK.
Maraknya penghindaran pajak melalui mekanisme base erosion and profit shifting (BEPS) juga perlu diperhatikan. Hal ini mendorong OECD memperkenalkan BEPS 2.0 sebagai upaya penanganan isu penghindaran pajak dengan fokus pada pembaruan regulasi pajak global dan pemajakan yang adil.
BEPS 2.0 terdiri atas 2 pilar utama, yaitu realokasi hak pemajakan antarnegara atas bisnis digital (Pilar 1) dan pengenalan batas minimal tarif pajak global (Pilar 2). Pilar 1 dan 2 dari BEPS 2.0 akan diimplementasikan di Inggris mulai 2024.
Sementara itu, Australia juga sedang merumuskan aturan terkait dengan BEPS 2.0. Rancangan aturan akan dibahas pada 2023. Adanya BEPS 2.0 diharapkan bisa meningkatkan kepatuhan dan penerimaan pajak serta menyederhanakan peraturan perpajakan.
Vanessa menambahkan digitalisasi administrasi perpajakan dengan teknologi artificial intelligence dapat membantu otoritas pajak dalam menghadapi penghindaran pajak sehingga berdampak positif terhadap penerimaan.
“Secara khusus, transformasi digital dapat mempermudah pengumpulan dan verifikasi data secara real time serta mempercepat pemrosesan data secara otomatis,” imbuhnya.
Dalam acara tersebut, Kepala Seksi Pengembangan Penyuluhan di Direktorat Jenderal Pajak Lury Sofyan mengatakan kebijakan pajak global merupakan respons atas 3 isu utama, yaitu agenda politik domestik dan internasional, perkembangan teknologi, dan model bisnis baru.
Selain itu, di negara berkembang seperti Indonesia, terdapat potensi besar dari usaha kecil dan menengah (UKM) untuk perpajakan. Berdasarkan pada data Asian Development Bank, 97,2% dari total perusahaan di Asia Tenggara adalah perusahaan kecil dan menengah pada 2010–2019.
“Oleh karena itu, keterlibatan pelaku usaha ini dalam membangun ekosistem perpajakan menjadi krusial bagi perkembangan kebijakan perpajakan. Salah satunya dengan meningkatkan keterlibatan tax intermediary dalam upaya edukasi kepatuhan perpajakan dan meningkatkan kepercayaan publik,” jelasnya. (kaw)