Ilustrasi. Warga mengakses layanan film daring melalui gawai di Jakarta, Sabtu (16/5/2020). DJP melakukan pungutan PPN sebesar 10% bagi produk digital impor dalam bentuk barang tidak berwujud maupun jasa (streaming music, streaming film, aplikasi, games digital dan jasa daring dari luar negeri) oleh konsumen di dalam negeri. ANTARA FOTO/Nova Wahyudi/hp.
JAKARTA, DDTCNews – Perincian pengenaan sanksi bagi pemungut pajak pertambahan nilai (PPN) perdagangan melalui sistem elektronik (PMSE) yang melanggar ketentuan akan diatur dalam peraturan menteri keuangan (PMK) tersendiri.
Kasubdit Peraturan PPN Perdagangan, Jasa, dan Pajak Tidak Langsung Lainnya Ditjen Pajak (DJP) Bonarsius Sipayung mengatakan meski norma dari sanksi telah tertuang dalam UU 2/2020, Kemenkeu akan mengatur ketentuan sanksi dalam PMK tersendiri, tidak masuk PMK 48/2020.
“Kementerian Keuangan mengambil sikap norma pengenaan sanksi dan penunjukan perwakilan itu pakai PMK sendiri. Ini sedang kita proses,” ujar Bonarsius dalam sebuah webinar, dikutip pada Jumat (17/7/2020).
Dalam UU 2/2020, telah diatur dua jenis sanksi, yaitu sanksi administratif sesuai dengan UU Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (UU KUP) atau melalui pemutusan akses. Namun, penerapan sanksi dan penindakan sesuai dengan UU KUP akan menemui kesulitan tersendiri mengingat pelaku usaha PMSE adalah usaha digital.
“Rasanya penerapan UU KUP ini akan ada kesulitan tersendiri. Ini kan usaha virtual, kalau mau melakukan pemeriksaan dan hingga gijzeling, itu perusahaan, contohnya Alibaba, ada dimana? Beijing mana? Apa benar di Beijing? Jangan-jangan di New York,” jelasnya.
Bonarsius menerangkan bila penindakan dipaksakan menggunakan ketentuan UU KUP, terdapat potensi biaya pemeriksaan dan biaya-biaya lain menjadi lebih tinggi dibandingkan dengan potensi pengenaan pajak atas pelaku usaha PMSE tersebut.
“Kalau penyitaan juga apa yang mau disita?” imbuhnya.
Oleh karena itu, mekanisme pengenaan sanksi yang bakal diutamakan oleh DJP nantinya adalah penerbitan surat teguran yang diikuti dengan pengenaan sanksi pemutusan akses bagi pelaku usaha PMSE.
Bonarsius juga mengakui DJP masih memiliki pekerjaan rumah yang cukup besar terkait mekanisme pengawasan untuk bisa menjamin pelaku usaha PMSE telah melakukan kewajiban pemungutan PPN PMSE-nya dengan baik. Namun, dia meyakini pelaku usaha PMSE mayoritas patuh terhadap ketentuan perpajakan dari suatu yurisdiksi.
"Pengalaman di negara-negara lain, seperti di Australia contohnya, mereka berjalan sekian tahun dan mereka itu patuh. Pelaku usaha PMSE itu tidak ingin diganggu dengan sanksi-sanksi yang merusak kepercayaan konsumen sehingga mereka cenderung patuh," ujar Bonarsius.
Ke depan, DJP akan bekerja sama dengan Kementerian Komunikasi dan Informatika untuk memerinci ketentuan pemutusan akses dan juga bersama dengan Kementerian Perdagangan dalam hal data transaksi. (kaw)