Managing Partner DDTC Darussalam dalam Sarasehan 100 Ekonom Indonesia, Kamis (26/8/2021). (tangkapan layar Youtube)
JAKARTA, DDTCNews – Jika sangat dibutuhkan, kebijakan pajak yang tidak populer perlu diambil untuk mengatasi permasalahan fundamental, terutama menyangkut penerimaan negara.
Managing Partner DDTC Darussalam mengatakan tax ratio Indonesia menempati posisi ketiga terendah di kawasan Asia Pasifik. Berdasarkan pada catatan Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD), tax ratio Indonesia hanya lebih unggul dari Laos dan Bhutan.
“Ini memprihatinkan. Apakah ini kita biarkan terus-menerus? Jawabannya ada di RUU KUP nanti," ujar Darussalam dalam Sarasehan 100 Ekonom Indonesia, Kamis (26/8/2021).
Selain rendahnya tax ratio, ada tren tidak sejalannya kinerja penerimaan pajak selama 2010 hingga 2019 yang tidak sejalan dengan pertumbuhan ekonomi. Hal ini terlihat pada indikator tax buoyancy yang hanya sebesar 0,83.
Bila tax buoyancy berada di bawah 1, pertumbuhan penerimaan pajak tidak mampu mengimbangi pertumbuhan ekonomi. Rendahnya tax buoyancy ini, sambung Darussalam, menunjukkan adanya ketidakselarasan kontribusi sektor usaha.
Ada sektor usaha yang berkontribusi besar terhadap produk domestik bruto (PDB). Namun, kontribusinya tidak cukup besar terhadap penerimaan pajak. Salah satu contoh sektor tersebut adalah pertanian.
Berdasarkan pada catatan Badan Kebijakan Fiskal (BKF), kontribusi sektor pertanian terhadap PDB 2019 mencapai 13,3%. Meski demikian, kontribusi sektor pertanian terhadap penerimaan pajak hanya sebesar 1,34%.
Melalui RUU KUP, pemerintah mengambil inisiatif untuk menghapuskan pengecualian barang pertanian dari pengenaan PPN. Berkaca pada laporan belanja perpajakan 2019, revenue forgone yang timbul akibat pengecualian PPN tercatat mencapai Rp73 triliun.
Menurut Darussalam, belanja perpajakan senilai Rp73 triliun itu sebaiknya dipungut pemerintah dan diredistribusikan kepada masyarakat yang benar-benar membutuhkan.
“Lebih baik kita kenakan [PPN] sehingga Rp73 triliun itu kita dapat [dalam penerimaan negara]. Kita berikan subsidi kepada mereka yang membutuhkan daripada kita kehilangan sama sekali yang Rp73 triliun itu," imbuhnya.
Darussalam mengatakan kebijakan tersebut memang bukanlah langkah populer. Meski demikian, langkah tersebut perlu diambil demi menciptakan sistem yang lebih baik. Kebijakan itu juga sejalan dengan kepentingan bangsa dan negara. (kaw)