BERDASARKAN intensitas atau tingkat kepentingannya, kebutuhan manusia terbagi menjadi kebutuhan primer, sekunder, dan tersier. Kebutuhan tersier mengacu pada kebutuhan akan barang mewah yang umumnya baru dikonsumsi setelah kebutuhan primer dan sekunder terpenuhi.
Barang mewah merupakan jenis barang yang permintaannya relatif responsif terhadap kenaikan pendapatan konsumen. Bahkan, harganya yang cenderung fantastis membuat konsumen atas barang-barang yang tergolong mewah lazimnya merupakan masyarakat berpenghasilan tinggi.
Konsumsi atas barang-barang yang tergolong mewah di Indonesia tidak hanya dikenakan PPN saja, tetapi juga menjadi sasaran pungutan pajak penjualan atas barang mewah (PPnBM). Lantas, apa itu PPnBM?
Definisi
MERUJUK pada IBFD International Tax Glossary (2015), pajak atas barang mewah adalah pajak ad valorem tidak langsung yang dikenakan atas barang-barang non-esensial tertentu dan biasanya mahal yang ditetapkan sebagai barang mewah.
Contohnya, seperti perhiasan, batu dan logam mulia, dan kendaraan bermotor. Beberapa negara hanya menerapkan PPN dengan tarif yang lebih tinggi atas barang mewah yang ditentukan. Sementara itu, beberapa negara lain memberlakukan pajak khusus atas barang mewah.
Serupa dengan itu, Kagan (2020) mendefinisikan pajak atas barang mewah sebagai pajak penjualan atau pungutan tambahan yang dikenakan hanya pada produk atau layanan tertentu yang dianggap tidak esensial atau hanya dapat diakses oleh orang yang sangat kaya (Kagan, 2020).
Sederhananya, pajak atas barang mewah ini merupakan pajak yang dikenakan terhadap barang yang tergolong mewah (Lennard, 1918). Menurut Lennard, ada dua sebab yang mendasari diberlakukannya pajak atas barang mewah.
Pertama, untuk membatasi konsumsi masyarakat atas barang-barang mewah sehingga konsumsi lebih diarahkan pada kebutuhan atau barang yang lebih mendesak, sekaligus mengurangi ketimpangan sosial.
Kedua, pajak atas barang mewah bisa digunakan sebagai pelengkap jenis pajak lainnya dan menjadi instrumen untuk meningkatkan penerimaan negara. Pajak atas barang mewah dapat diterapkan pada sistem pajak penjualan (sales tax), PPN, atau sistem pemungutan cukai.
Di Indonesia, penyerahan barang kena pajak tertentu tak hanya dikenakan PPN, tetapi juga dikenakan pajak penjualan atas barang mewah (PPnBM). Ketentuan PPnBM tersebut diatur dalam UU PPN. Namun, UU PPN tidak menyebutkan secara eksplisit definisi dari PPnBM.
Meski demikian, definisi PPnBM tercantum dalam Pasal 1 angka 3 PMK 141/2021. Pasal tersebut mendefinisikan PPnBM sebagai pajak yang dikenakan atas penyerahan Barang Kena Pajak (BKP) yang tergolong mewah berdasarkan UU PPN.
Berdasarkan Pasal 5 ayat (1) UU PPN, PPnBM dikenakan terhadap dua hal. Pertama, penyerahan BKP tergolong mewah yang dilakukan oleh pengusaha yang menghasilkan barang tersebut di dalam daerah pabean dalam kegiatan usaha atau pekerjaannya.
Terdapat 5 cakupan kegiatan yang termasuk dalam pengertian menghasilkan, meliputi:
Kedua, impor BKP yang tergolong mewah. BKP tergolong mewah adalah: i) barang yang bukan merupakan barang kebutuhan pokok; (ii) barang yang dikonsumsi oleh masyarakat tertentu; (iii) barang yang umumnya dikonsumsi oleh masyarakat berpenghasilan tinggi; dan/atau barang yang dikonsumsi untuk menunjukkan status.
PPnBM hanya dikenakan satu kali, yaitu saat penyerahan BKP oleh pengusaha yang menghasilkan atau pada waktu impor BKP yang tergolong mewah. Hal ini berarti kendati PPnBM memberi beban pajak tambahan kepada konsumen, tetapi pengenaanya tidak pada mata rantai jalur distribusi yang paling dekat dengan konsumen.
Simpulan
INTINYA, PPnBM sebagai pajak yang dikenakan atas penyerahan BKP yang tergolong mewah berdasarkan UU PPN. Perincian ketentuan jenis-jenis barang tergolong mewah yang dikenai PPnBM diatur dalam peraturan teknis.
Peraturan teknis mengenai PPnBM di antaranya adalah PP 61/2020, PMK 96/2021, PP 74/2021, dan PMK 141/2021, Guna memahami lebih lanjut perihal PPnBM, simak juga kelas pajak seri PPnBM. (rig)