INDONESA layaknya sebuah perusahaan yang bermodalkan saham. Saham bagi perusahaan sama halnya dengan pajak bagi Indonesia. Untuk keperluan pembiayaan negara, Indonesia bergantung pada sumber penerimaan.
Pajak adalah salah satu sumber penerimaan terbesar negara yang telah menyumbang sekitar 83% atas APBN, sehingga diberi gelar sebagai tulang punggung penerimaan negara. Sebab tanpa pajak, negara akan lumpuh.
Gelar tulang punggung penerimaan negara bukanlah main-main. Gelar tersebut menempatkan pajak pada posisi strategis yang selalu menjadi bahan perbincangan mulai dari pujian hingga kritikan. Kini, posisi strategis itu kembali muncul dalam panasnya suhu politik Indonesia.
Agustus lalu telah dua pasangan calon (paslon) menyatakan siap maju dalam perhelatan demokrasi 5 tahunan pada2019. Pasangan Joko Widodo dan Ma'ruf Amin mendapat nomor urut satu, sedangkan pasangan Prabowo Subianto dan Sandiaga Uno mendapat nomor urut dua.
Memasuki masa kampanye, visi-misi kedua paslon telah diterima Komisi Pemilihan Umum (KPU). Sorotan terhadap visi-misi tak akan luput dari sektor ekonomi, khususnya rencana kebijakan fiskal yang dijanjikan untuk menggenjot penerimaan perpajakan.
Nomor urut satu mencanangkan pengelolaan fiskal dengan melanjutkan reformasi perpajakan untuk mewujudkan keadilan dan kemandirian ekonomi nasional dengan target terukur serta memperhatikan iklim usaha dan memberiinsentif bagi Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM).
Sebagai kandidat pertahana, wajar apabila Jokowi ingin melanjutkan pekerjaan sejak 2014. Adanya keputusan ini menunjukkan dua hal. Pertama, konsistensi reformasi perpajakan. Kedua, anggapan bahwa sistem perpajakan yang ada sudah baik.
Genap sudah 4 tahun pemerintahan Joko Widodo-Jusuf Kalla. Capaiannya tercermin dari beberapa kebijakan fiskal yang membuat perekonomian membaik, di antaranya tax holiday yang meningkatkan semangat industri dalam negeri dan tax amnesty yang menyumbang Rp135 triliun untuk kas negara.
Terkait insentif pajak bagi UMKM, tarif pajak penghasilan (PPh) final bagi pelaku UMKM telah turun dari 1% jadi 0,5%. Insentif ini bermaksud meringankan beban pajak UMKM, sekaligus memperluas basis pajak. Kebijakan ini akanmenjadi tolok ukur insentif pajak di masa pemerintahan yang baru.
Dengan anggapan sistem perpajakan sudah baik, selanjutnya sangat tepat mengambil langkah untuk beralih fokus ke tahap pengoptimalan Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) guna menggali potensi sumber penerimaan lainnya.
Namun, konsistensi yang dipegang Jokowi masih rentan menjelang akhir masa pemerintahan yang masih menyisakan beberapa pekerjaan. Misalnya, tingkat kepatuhan wajib pajak dalam jangka panjang yang tercermin dari tax ratio yang rendah masih jadi permasalahan utama ] saat ini.
Sejak 2014, rasio penerimaan pajak terhadap produk domestik bruto atau tax ratio terus mengalami penurunan. Tax ratio Indonesia berada pada 13,7% pada 2014, selanjutnya merosot menjadi 11,6% pada 2015, kemudian kembali turun menjadi 10,8% pada 2014, lalu stagnan di 10,7% pada 2017.
Memang belum dapat dikatakan, gagal sebab masa pemerintahan belum berakhir untuk mencapai target tax ratiotahun ini dan tahun depan 11.6% dan 12,1%, yang secara keseluruhan akan kembali dievaluasi pada akhir masa kepemimpinannya.
Sementara Jokowi ingin melanjutkan, Prabowo muncul dengan tawaran yang kontras. Nomor urut dua merencanakan kebijakan menaikkan batas Pendapatan Tidak Kena Pajak (PTKP) dan menurunkan tarif PPh 21 Orang Pribadi untuk meningkatkan daya beli masyarakat, dan menghapus pajak bumi dan bangunan (PBB) bagi rumah tinggal utama dan pertama untuk meringankan beban papan.
Kemudian menghapus drastis birokrasi yang menghambat dan melakukan reformasi perpajakan agar lebih meransang gairah berusaha dan meningkatkan daya saing terhadap negara tetangga, serta meningkatkan akses masyarakat terhadap buku yang murah dan terjangkau melalui kebijakan perpajakan yang menunjang.
Isu utang negara memang seringkali disuarakan, padahal visi-misi tersebut berpotensi untuk mendorong pemerintah guna memutar haluan mencari sumber pembiayaan lain termasuk utang negara.
Pasalnya, menaikkan PTKP dan menurunkan tarif PPh 21 orang pribadi serta menghapus PBB bagi rumah tinggal utama dan pertama akan mengurangi jumlah wajib pajak yang berimbas pada penerimaan negara, mengingat pajak menduduki porsi yang besar dalam APBN.
Di samping itu, upaya menaikkan-turunkan hingga menghapus kebijakan yang ada menawarkan insentif pajak yang sangat menguntungkan masyarakat. Sebab, pengalokasian pendapatan untuk pajak menjadi berkurang yang akan berdampak pada aktivitas lainnya seperti peningkatan daya beli.
Peningkatan daya beli tersebut tentu bisa berdampak pada tingkat konsumsi yang mempengaruhi pajak pertambahan nilai (PPN) dalam negeri, investasi, maupun impor yang akan memengaruhi PDB. Dengan demikian, strategi ini sangat baik mendongkrak sirkulasi perekonomian negara.
Tawaran Prabowo-Sandi sangat menarik sebab bagaikan gebrakan-gebrakan baru atas sistem yang ada, tetapikurang menunjukkan dukungan atas kebijakan fiskal yang berlaku. Dalam hal ini, debat antarpaslon sangat esensial untuk mendapatkan perincian visi-misi keduanya.
Layaknya hak suara para pemegang saham, para wajib pajak pun mempunyai hak suara pada pemilu nanti. Mari bijak menelaah setiap visi dan misi paslon khususnya pajak yang menopang tubuh negara untuk Indonesia yang lebih baik.*
Cek berita dan artikel yang lain di Google News.