Ilustrasi. Bendera Uni Eropa. (foto: europe.eu)
BRUSSELS, DDTCNews - Anggota Parlemen Eropa menyebut pajak digital atau digital services tax (DST) akan diberlakukan kembali apabila Pemerintah Amerika Serikat tidak mengadopsi proposal Pilar 1: Unified Approach.
Anggota Parlemen Eropa dari Belanda Paul Tang mengatakan apabila Pilar 1 tak diadopsi Pemerintah AS maka dorongan domestik untuk mengenakan DST atas perusahaan digital multinasional akan meningkat.
"Perwakilan dari Italia, Spanyol, dan Austria menyatakan negaranya akan memberlakukan kembali DST bila Pilar 1 tidak diberlakukan," katanya seperti dilansir Tax Notes International, dikutip pada Minggu (12/6/2022).
Tang menilai implementasi Pilar 1 di AS besar kemungkinan terhambat lantaran Partai Demokrat dan Partai Republik belum satu suara dalam rapat Kongres. Pemerintah AS dan anggota kongres terlihat lebih sibuk memperdebatkan Pilar 2: Global Anti Base Erosion (GloBE) ketimbang Pilar 1.
Untuk diketahui, Pilar 1 adalah salah satu pilar konsensus yang merealokasikan hak pemajakan atas penghasilan yang diperoleh korporasi nasional kepada negara pasar meski korporasi tersebut tidak memiliki kehadiran di negara pasar.
Yurisdiksi pasar mendapatkan hak pemajakan atas 25% dari residual profit yang diterima korporasi multinasional. Perusahaan multinasional yang tercakup pada Pilar 1 merupakan perusahaan dengan pendapatan global di atas EUR20 miliar dan profitabilitas di atas 10%.
Seiring dengan disepakatinya Pilar 1, sebanyak 137 negara anggota Inclusive Framework sudah menyatakan komitmennya untuk tidak mengenakan DST atas korporasi digital multinasional di negaranya masing-masing.
Awalnya, Pilar 1 ditargetkan mulai berlaku pada 2023. Meski demikian, Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD) memperkirakan Pilar 1 baru akan diimplementasikan pada 2023.
"Kami sengaja menetapkan waktu implementasi yang sangat ambisius untuk menjaga momentum. Namun, saya menduga kemungkinan besar konsensus akan diimplementasikan secara penuh mulai 2024," ujar Sekjen OECD Mathias Cormann pada bulan lalu. (rig)